Jumat, 28 Maret 2014

ANALISIS TRADISI SALAMATAN SETELAH KEMATIAN



ANALISIS TRADISI SALAMATAN SETELAH KEMATIAN

DI DESA SIDODADI KEC. TEMPUREJO KAB. JEMBER
MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Antropologi
Dosen pembimbing Mata Kuliah Drs. Sudjitro

Oleh :
Ika Devita Sari (120210302057)
Muhasanah      (120210302031)
Nurma’rifa      (120210302087)
Hajar Risa A.  (120210302051)         
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

KATA PENGANTAR


Puji Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT. Berkah rahmatNya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah Antropologi yang berjudul “Tradisi Upacara Salamatan  Setelah Hari Kematian “ Desa Sidodadi kec. Tempurejo Kab. Jember dengan sebaik-baiknya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak, atas kerelaaan waktu, tenaga dan ilmunya, sehingga dapat membantu saya dalam menyelesaikan tugas ini dengan baik, diantaranya kepada:
1.      Drs. Sudjticro selaku Dosen pembimbing Mata Kuliah Antropologi, yang telah meluangkan waktunya untuk memberi mata pembelajaran mata kuliah Antropologi;
2.      Warga Desa Sidodadi Bapak Suki, Bapak Siman serta Ibu Wati, yang telah memberikan informasi mengenai tradisi Upacara Salamatan  Setelah Hari Kematian;
3.      Perpustakaan yang telah memberikan fasilitas buku untuk menambah referensi berdasarkan pada tema yang ada;
4.      Teman-teman yang telah memberikan berbagai motivasi yang bersifat membangun dalam menyelasaikan tugas ini;.
Semoga dengan hasil penelitian ini, bisa bermanfaat bagi semua kalangan, khususnya mahasiswa Universitas Jember, dan umumnya para pembaca. Penulis  menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun, supaya bisa menambah informasi lebih akurat dan lengkap.
Jember, 07 Maret 2014                                                                       Penulis

DAFTAR ISI




BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Manusia ciptaan dan milik Allah, lahir di alam dunia untuk beribadah kepada-Nya dan akan kembali ke hadirat-Nya (Al-Baqarah (2): 156), (Al-Dzarriyat (51): 56).  Manusia diciptakan dari tanah, akan dikembalikan ke tanah dan kelak akan dibangkitkan dari tanah (Thaha (20): 55). Kehidupan manusia melalui siklus kehidupan yang panjang berpindah dari satu alam ke alam yang lain : dari alam arwah ke alam kandungan, lahir ke alam dunia, transit ke alam barzah (alam kubur) dan akhirnya menetap selamanya di alam akhirat.
            Kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan perpindahan dari alam dunia ke alam penantian (barzah/kubur). Kematian merupakan pintu masuk yang harus dilewati oleh setiap manusia dalam proses kehidupannya. Alam kubur bisa berupa taman surga yang luas dan indah, namun juga bisa berupa jurang neraka yang mengerikan, bergantung amal perbuatan manusia ketika di alam dunia; becik ketitik ala ketoro, ngunduh wohing pakarti (Al-Jumu’ah (62): 8).
            Ketika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali pahala dari tiga amal yaitu, sedekah jariyah, ilmu yang manfaat dan anak saleh yang mendoakannya (Al-Hadis). Kiriman dari anak cucu, sanak keluarga dan teman baik berupa do’a, sedekah dan amal saleh yang lain bermanfaat dan sangat berarti bagi orang yang sudah meninggal untuk menambah kenikmatan atau mengurangi penderitaannya di alam kubur (Sayid Sabiq dalam  Fiqh al-Sunnah : 168). Pemahaman agama semacam ini bertemu dengan budaya Jawa kemudian menyatu secara simboisis dalam bentuk upacara tradisi kematian.
            Upacara tradisi kematian yang meliputi upacara pemakaman, sur tanah, selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, mendak pisan, mendak pindo dan upacara seribu hari yang berlaku sampai sekarang di dalam masyarakat Jawa khususnya di Jember selatan tepatnya di Desa Sidodadi kec. Tempurejo Kab. Jember adalah banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek ajaran agama Islam yang bertemu dan menyatu secara simboisis dengan budaya Jawa.

1.2  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya yaitu:
1.      Apa tujuan diadakan tradisi upacara salamatan  setelah hari kematian?
2.      Bagaimanaka proses pelaksanaan tradisi upacara salamatan  setelah hari kematian?
3.      Bagaimanakah makna yang terkandung dalam tradisi upacara salamatan setelah hari kematian?

1.3  Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari makalah ini berdasarkan rumusan masalah diatas antara lain:
1.      Untuk mengetahui  tujuan diadakan tradisi upacara salamatan  setelah hari kematian
2.      Untuk mengetahui  proses pelaksanaan tradisi upacara salamatan  setelah hari kematian
3.      Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tradisi upacara salamatan setelah hari kematian
Adapun Manfaatnya yaitu:
Adapun manfaat dari  makalah ini supaya memberi wawasan dan menambah pengetahuan tentang tradisi-tradisi yang ada di lingkup masyarakat Jawa khususnya di wilayah Desa Sidodadi Kec. Tempureko Kab. Jember Jawa Timur bagi para pembaca khususnya Mahasiswa Universitas Jember dan umumnya para budayawan, dan masyarakat yang membaca.


BAB II PEMBAHASAN

Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa tehnik pengumpulan data yang menggunakan teknik wawancara dengan salah satu masyarakat yang dianggap sesepuh oleh warga setempat, yang bernama Mbah Siman dari Dasa Sidodadi dan mbah Suki warga Karang Templek Kec. Ambulu yang sering menjadi penuntun setiap pelaksanaan tradisi-tradisi yang ada di desa setempat, serta ibu Purwati warga Desa Sidodadi. Juga berdasarkan kajian pustaka yang ada di berbagai  sumber. Adapun hasilnya kami susun sebagai berikut:

Menurut Koentjaraningrat, pengertian Slametan adalah suatu upacara seremonial sederhana, makan bersama, makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Semua tetangga, kerabat dan saudara harus diundang dan keselarasan diantara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Dalam slametan  terungkap nilai-nilai yang dirasakan sangat mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaligus slametan menimbulkan perasaan kuat bahwa semua warga adalah sama derajadnya satu sama lain, kecuali ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Ini membuktikan bahwa slametan begitu penting dalam tatanan masyarakat Jawa sejak dulu, yaitu sebagai sebuah media untuk mempererat tali silaturahmi antar tetangga dan kerabat.
Berdasarkan pendapat mbah Suki, bahwa sejarah awalnya diadakan salamatan Malaikat ada 4 yaitu nur cahyani bumi dirusak bongso kajiaman, Nur manusia kui transyah maulana bakir, menyerangi bangsa kajiman, bongso jin kalah-kalah’e nyerah lan nduwe janji anali trun mbesok ojo diganggu. Tengerono cikala bakal bibit, yo kui Cok bakal, Jambe ayu, suruh ayu, tumbak sewu.  
Upacara kematian merupakan warisan budaya nenek moyang. Setiap orang dalam keluarga/rumah tangga pasti pernah atau akan mengalami kematian, yang oleh masyarakat disebutnya kesripahan. Mereka melaksanakan upacara kematian jika ada  salah satu anggota keluarga atau warga desa yang meninggal dunia, dikatakan sebagai naluri dan merupakan kewajiban tradisi masyarakat. Sudah barang tentu karena sebagai tradisi, maka dilakukannya upacara kematian juga berdasarkan pada aturan-aturan atau norma-norma tertentu. Sebab pada prinsipnya tradisi adalah suatu kebiasaan yang berlakunya berdasarkan norma-norma tertentu.
Jadi tujuan dilaksanakannya uapcara kematian adalah untuk menghormati orang yang mati. Menurut kepercayaan masyarakat, orang mati hanyalah mati raganya atau fisiknya, sedang jiwa atau nyawa atau roh tetap terus hidup. Roh orang yang telah mati mempunyai kemampuan dan kekuatan yang luar biasa, jauh di luar kemampuan dan kekuatan orang yang masih hidup.
Namun pendapat dari Mbah Suki bahwa diadakannya salamatan kematian karena perjuangan anak karo wong tuwo tembung mati, isi dirumati, wong tuo antarane anak pinter ora iku soko kitab, mung soko pangkonanae wong tuo sukalane mbok bilih ninggal kui ora njaluk, ping pingengat jowo pengeleng-ngeleng, ndungo dibarengi sodakoh jariah krono Allah lan iling roso sandangan sudah lama itu dikira sudah tidak layak diganteni yaoiku kain kafan lan sak surupe.

Masyarakat juga percaya bahwa perjalanan roh menuju ke alam baka yang disebutnya alam akhirat, yang merupakan perjalanan jauh, perjalanan berat yang penuh gangguan dan risiko, perjalanan yang lama, yang semuanya ia tak dapat dibandingkan dengan dunia ini. Semuanya bersifat gaib. Meskipun demikian jika “bekal” yang dibawa cukup, semuanya akan dapat dihadapi dengan baik. Hal ini dikaitkan dengan perbuatan orang sewaktu masih hidup, yang mana perbuatan baik kelak akan menerima pahala dan sebaliknya perbuatan jahat akan menerima hukuman (Mulyadi dkk., 1983: 93).
Berdasarkan warga setempat tradisi salamatan ini bertujuan untuk meringankan beban penderitaan Almarhum yang sudah meninggal, dengan cara diadakan salamatan setelah prosesi pemakaman dan disertai pembacaan do’a-do’a , menyedekahkan barang dikhususkan untuk sedekahnya orang yang sudah meninggal, kiriman itu dilakukan oleh sanak keluarga bersama dengan masyarakat setempat.

2.2  Proses pelaksanaan tradisi upacara salamatan  setelah hari kematian


Salah satu  adat jawa diantaranya selamatan meninggalnya seseorang. Pelaksanaan selamatan di masyarakat Jawa yaitu selamatan untuk 3 hari , 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendak sepisan, pendak pindho dan yang terakhir sebagai puncaknya adalah nyewu (1000 hari). Masyarakat Jawa menghitung  hari untuk selamatan umumnya tidak dihitung satu persatu dari hari meninggalnya.Ada ada cara yang diyakini lebih praktis daripada menghitung satu-persatu. Karena selamatan hari kematian dihitung berdasarkan penanggalan jawa praktis, untuk dapat menghitungnya kita harus mengenal dulu sistem penanggalan jawa.
Menurut sejarah, adat  Jawa menggunakan kalender Hijriyah  (sebagai panduan beribadah umat Islam) pada tahun 1625 Masehi mengganti penggunaan kalender jawa dari sistem penanggalan Saka 1547 tahun Saka. Diakui atau tidak di Indonesia dikenal beberapa sistem kalender, diantaranya kalender Hijriyah, kalender Jawa, kalender Masehi. Setiap sistem penanggalan dalam 1 tahun terdiri dari 12 bulan. Perhatikan nama bulan dalam kalender di bawah ini, terdapat perbedaan dalam jumlah hari. Nama bulan dan jumlah hari dalam sistem kalendder Hijriyah, kalender Jawa dan Kalender Masehi sebagai berikut:
No
Bulan Hijriyah
Bulan Jawa
Jumlah Hari
Bulan Masehi
Jumlah Hari
1
Muharam
Sura
30
Januari
31
2
Shafar
Sapar
29
Febuari
28/29
3
Rabi’ul Awal
Mulud
30
Maret
31
4
Rabi’ul Akhir
Bakdamulud
29
April
30
5
Dzulhijah
Jumadil Awal
30
Mei
31
6
Jumadil Akhir
Jumadil Akhir
29
Juni
30
7
Rajab
Besar
29
Juli
31
8
Sya’ban
Ruwah
29
Agustus
31
9
Ramadhan
Pasa
30
September
30
10
Syawal
Sawal
29
Oktober
31
11
Dzulqaidah
Sela
30
November
30
12
Jumadil Awal
Rejeb
30
Desember
31
jumlah
354/355
jumlah
365/366

Kalender Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata siklus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahinnya adalah (12x29,53059 hari= 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun Kalender Hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding 1 tahun Kalender Masehi. Sistem kalender Jawa dari tiap-tiap bulan tersebut dibagi dalam beberapa hari yang disebut dengan pasaran dan siklusnya berputar setiap 5 (lima) hari, yaitu:
No
Nama Pasaran
1
Kliwon
2
Legi
3
Paing/Pahing
4
Pon
5
Wage

Satu hal yang sangat penting untuk diketahui adalah pada Kalender Hijriyah, penentuan dimulainya sebuah hari/tanggal berbeda dengan pada Kalender Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya Matahari di tempat tersebut.
Upacara-upacara selamatan di luar upacara pemakaman ada 8 (delapan) macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus dina, pendak pisan, pendak  pindo, dan sewu dina.
  1. Surtanah
Surtanah berasal dari kata (Jawa: ngesur tanah), yang berarti “nylameti wong kang mentas mati” (Porwodarminto, 1939: 396) yang maksudnya melakukan selamatan terhadap orang yang baru saja meninggal.
Ubarampe” atau sesajen merupakan sebuah perlengkapan dan materi dalam upacara surtanah di Desa Sidodadi. Adapun macam-macamnya yaitu:
1)      Sega asahan/sega ambengan; yaitu nasi putih yang ditaruh di atas nyiru/tampah dan disertai lauk-pauknya. Terdiri dari 1 telur rebus, tahu, mie/sayur oseng. Potongan ayam ingkung kadang juga terdapat serondeng.
2)      sayur tidak pedas, dan “kuluban” atau gudangan (daun-daunan yang telah dimasak)
3)      Sega wuduk atau sego gurih; yaitu nasi yang diberi santan, garam dan daun salam.
4)      Ingkung bumbu lembaran; yaitu daging ayam jantan utuh (diingkung) yang dimasak dengan bumbu bawang merah/brambang, garam, gula kelapa/gula jawa, santan, daun salam. Ditambah lagi dengan 3 lembar daun kobis atau kol, dan inilah yang disebut bumbu lembaran.
5)      Lauk yang lain lagi adalah goreng-gorengan yang berujud ikan asin, bregedel, kerupuk, tonto dan lain-lain.
6)      kembang telon (mawar, melati, kenanga) sering ditambah bunga kantil. Atau istilahnya Kembang rasulan/bunga rosul.
7)      Bubur atau jenang abang dan putih; yaitu bubur yang diberi gula kelapa (jenang abang) dan bubur biasa (jenang putih)
8)      Wajib, yaitu materi selamatan yang biasanya berupa uang sekedarnya, yang nantinya diberikan kepada kaum.
Semua materi di atas disajikan pada suatu tempat, yang kemudian “dikepungake”/dikepung oleh tetangga dan sanak keluarga yang hadir. Pelaksanaan inilah yang disebut dengan “kenduren” atau kepungan.  Bila semuanya itu telah “diujubake” oleh kaum yang biasanya ditutup dengan doa berbahasa Arab, kemudian dibagi-bagikan kepada semua yang hadir.
  1. Telung dina/nelung dino
Upacaraselamtan nelung dina ini dilaksanakan tepat 3 hari sesudah kematian seseorang. Telu berarti tiga, dan dina berartu hari. Materi atau perlengkapan pada selamatan telung dina hampir sama pada selamatan surtanah, tetapi tanpa tumpeng pungkur beserta lauk pauknya, kemudian ditambah dengan takir pontang, yaitu wadah dari daun pisang dan daun kelapa yang masih muda, berisikan nasi putih dan nasi punar, yaitu nasi yang diberi kunyit, sehingga disebut  juga disebut nasi/sega kuning. Selain itu juga ditambah ancah, yaitu sayur kecambah, kacang panjang yang telah dipotong-potong, bawang merah yang telah diiris-iris, garam dan lain sebagainya. Dalam hal penggunaan sajen juga sama.
  1. Pitung dina/mitung dina
Upacara selamatan pitung dina/tujuh hari itu tepat hari kematian seseorang. Rangkaian materinya sama dengan selamatan telung dina/tiga hari, tetapi ditambah dengan apem ketan kolak. Ada sebagian anggota masyarakat yang berpendapat bahwa apem ketan kolak itu diadakan hanya mulai pada selamatan patang puluh dina/empat puluh hari. Masalah sesajen masih sama.
  1. Patang puluh dina/matang puluh dina
Upacara selamatan patang puluh dina/empat puluh hari itu dilaksanakan tepat 40 hari dari kematian seseorang. Materi atau perlengkapannya sama dengan upacara selamatan pitung dina. Hanya saja materi yang berupa ingkung ayam biasanya diusahakan dari ayam yang mempunyai warna putih mulus. Akan tetapi jika ternyata tidak didapatkan ayam jantan yang putih mulus, dapat juga digunakan ayam jantan biasa. Pelaksanaan sesajen juga sama dengan upacara selamatan sebelumnya.
  1. Satus dina/nyatus dina
Upacara selamatan satus dina/seratus hari ini dilaksanakan tepat seratus hari sejak kematian seseorang. Macam materi atau perlengkapan dan sesajen juga sama dengan di atas.
  1. Pendak pisan/mendak pisan
Upacara selamatan pendak pisan ini dilaksanakan tepat tempo setahun sejak kematian seseorang. Materi dan sesajennya juga sama dengan di atas.
  1. Pendak pindo/mendak pindo
Upacara selamatan pendak pindo ini dilaksanakan tepat tempo 2 tahun sejak hari kematian seseorang. Materi dan perlengkapan serta sesajennya juga sama dengan di atas.
  1. Sewu dina/nyewu dina
Upacara selamatan sewu dina atau 1000  hari ini dilaksanakan tepat 1000 hari sejak kematian seseorang. Selamatan sewu dina ini biasanya diadakan secara besar-besaran, sebab yang dianggap terakhir kalinya. Materinya sama dengan di atas, tetapi biasanya ditambah dengan potong kambing, dara/merpati dan bebek/itik, di samping juga ayam. Ada syarat-syarat tertentu bagi binatang yang akan dipotong pada upacara selamatan kematian ini yang memotong juga kaum, baru penyelesaiannya dilakukan oleh orang lain yang telah ditunjuk.
 Pada upacara selamatan ini selain diadakan sesajen seperti selamatan-selamatan sebelumnya, juga ditambah sesajen yang lain yang berupa klasa bangka/tikar, benang lawe, jodog/tempat menaruh lampu sentir, clupak berisi minyak goreng/lenga klentik beserta sumbu/uceng-uceng, 1 botol minyakgoreng/minyak klentik, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, kemenyan, pisang raja/gedang ayu 6 sisir atau 3 tangkep, gula kelapa atau gula jawa  2 buah atau 1 tangkep, 1 buah kelapa utuh, 1 takir beras atau lebih, benang jahit dan jarum dan bunga. Semua itu disajikan di tempat melaksanakan kenduri atau pembacaan ayat-ayat Al Qur’an; sajen itu nantinya akan menjadi bagian atau berkatan si kaum dan santri yang ikut dalam pembacaan ayat-ayat Al Qur’an juga mendapatkan berkatan 1 tebok  atau 1 kroso (wadah yang terbuat dari daun kelapa), yang di dalamnya berisi bermacam-macam makanan dan uang sekedarnya.

2.3  Makna yang terkandung dalam tradisi upacara salamatan setelah hari kematian

a)      Sega asahan atau ambengan; melambangkan suatu maksud agar arwah si mati maupun keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada “pembenganing Pangeran”, artinya selalu mendapatkan ampun atas segala dosa-dosanya dan diterima di sisiNya.
b)      Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran maksudnya untuk menjamu roh para leluhur.
c)      Ingkung ayam melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung atau diingkung mempunyai makna “dibanda” atau dibelenggu.
d)     Kembang rasulan atau kembang telon melambangkan keharuman doa yang dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir batin. Di samping itu bau harus mempunyai makna kemuliaan.
e)      Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan kesucian dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Makanan khas yang mejadi symbol doa, harapan, persatuan dan semnangat masyarakat orang jawa.. Di samping itu bubur merah untuk memule atau tanda bakti kepada roh dari bapak atau roh laki-laki dan bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh dari ibu atau roh perempuan. Secara komplitnya adalah sebagai tanda bakti kepada bapa angkasa ibu pertiwi atau penguasa langit dan bumi, semua dibekteni dengan harapan akan memberikan berkah, baik kepada si mati maupun kepada yang masih hidup.
f)       Wajib melambangkan suatu niat ucapan terima kasih kepada kaum yang telah “ngujubake” menjabarakan tujuan selamatan itu, dan terima kasih pula kepada semua fihak yang ditujunya, semoga semuanya itu terkabul.
g)      Sega punar atau nasi kuning melambangkan kemulian, sebab warna atau cahaya kuning melambangkan sifat kemuliaan. Juga dimaksudkan sebagai jamuan mulia kepada yang dipujinya.
h)      Apem melambangkan payung dan tameng, dan dimaksudkan agar perjalanan roh si mati maupun yang masih hidup selalu dapat menghadapi tantangannya dan segala gangguannya berkat perlindungan dari yang maha kuasa dan para leluhurnya. Dan lainnay ada yang mengatakan sebagai symbol permintaan maaf atau ngapuro.
i)        Ketan adalah salah satu makanan  dari beras yang mempunyai sifat”pliket’ atau lekat. Dari kata pliket atau ketan, ke-raket melambangkan suatu keadaan atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa.
j)        Kolak adalah melambangkan suatu hidangan minuman segar atau untuk “seger-seger” sebagai pelepas dahaga. Disamping itu juga melambangkan  suatu keadaan atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa. Atau lambing kebenaran (Kolado).
k)      Kambing, merpati dan itik melambangkan suatu kendaraan yang akan dikendarai oleh roh si mati.
Materi sajian lain  seperti tikar, benang lawe, jodog, sentir, clupak, minyak klentik, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, pisang, beras, gula, kelapa, jarum dan lain sebagainya yang mana hal ini biasanya pada selamatan seribu hari adalah sebagai lambang dari segala perlengkapan hidup manusia sehari-hari, dan semua itu dimaksudkan sebagai bekal roh si mati dalam menjalani kehidupan di alam baka.
Adapun lambang atau makna dari semua itu antara lain :
Ø  Benang lawe adalah benag putih sebagai lambang tali suci sebagai pengikat atau tali hubugan antara keluarga yang ditinggalkan dengan yang sudah pergi jauh itu.
Ø  Jodog dan sentir adalah lambang penerang, maksudnya agar roh si mati tadi selalu mendapatkan terang.
Ø  Clupak berisi minyak dan sumbu melambangkan obor di perjalanan dan semangan yang tinggi.
Ø  Minyak klentik 1 botol sebagai lambang bekal cadangan jika sewaktu-waktu kehabisan atau lampunya mati. Sebab kebiasaan orang Jawa jaman dulu menggunakan minyak lampu bukan dari minyak tanah seperti sekarang, melainkan denga minyak kelapa atau minyak  klentik.
Ø  Sisir, minyak wangi dan cermin melambangkan sebagai perlengkapan make up atau untuk “dandan’/menghiasi diri, agar rapi dan wangi, jika perempuan ibarat seperti bidadari, jika laki-laki ibarat seperti satriya yang tampan.
Ø  Kapas yang biasa sebagai alas atau isi bantal melambangkan bantal suci.
Ø  Pisang raja sebagai lambang persembahan kepada yang maha kuasa di samping itu juga sebagai buah segar.
Ø  Beras, gula kelapa melambangkan makanan beserta lauk dan bumbunya, sebagai bekal hidup di alam kelanggengan.
Ø  Jarum dan perlengkapannya sebagai lambang alat pembuat pakaian, maksudnya sebagai bekal untuk membuat pakaian jika sewaktu pakaiannya rusak.
Ø  “Bala pecah” sebagai lambang perlengkapan rumah tangga.
Ø  Sapu gerang/sapu lidi yang telah usang atau tua, sebagai lambang tombak seribu, maksudnya adalah sebagai senjata bila menemui bahaya. Disamping sapu gerang biasanya juga diikutsertakan pisau dan sujenpring ampel. Keduanya sebagai lambang senjata.
Ø  Dlingo bengle sapiturute atau rempah-rempah, sebagai lambang obat-obatan jika terkena sakit, sewaktu di perjalanan atau di alam yang baru itu.
Ø  Telor melambangkan kebulatan atau kemanunggalan berbagai sifat dan tujuan sebab telor itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan, dan masing-masing lapisan mempunyai makna sendiri-sendiri.
Ø  Hitam, yaitu pada kulit keras mengandung makna atau maksud keteguhan hati dan keteguhan cita-cita atau tujuan.
Ø  Merah, yaitu pada kulit lunak, mengandungmakna keuletan dan keberanian.
Ø  Putih, yaitu pada lapisan putihan telur, mengandung makan kesucian dan ketulusan hati.
Ø  Kuning, yaitu pada lapisan kuning telur, mengandung makna kepandaian, kebijaksanaan dan kewibawaan serta kemuliaan.
Ø  Hijau, yaitu pada lapisan terdalam atau titik pusat telor, mengandung makna ketenganan, kesabaran dan kehidupan abadi.


BAB III PENUTUP


3.1  Simpulan

Kehidupan manusia melalui siklus kehidupan yang panjang berpindah dari satu alam ke alam yang lain : dari alam arwah ke alam kandungan, lahir ke alam dunia, transit ke alam barzah (alam kubur) dan akhirnya menetap selamanya di alam akhirat. Kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan perpindahan dari alam dunia ke alam penantian (barzah/kubur).
Ketika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali pahala dari tiga amal yaitu, sedekah jariyah, ilmu yang manfaat dan anak saleh yang mendoakannya (Al-Hadis). Kiriman dari anak cucu, sanak keluarga dan teman baik berupa do’a, sedekah dan amal saleh yang lain bermanfaat dan sangat berarti bagi orang yang sudah meninggal untuk menambah kenikmatan atau mengurangi penderitaannya di alam kubur.
Upacara tradisi kematian yang meliputi upacara pemakaman, sur tanah, selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, mendak pisan, mendak pindo dan upacara seribu hari yang berlaku sampai sekarang di dalam masyarakat Jawa khususnya di Jember selatan tepatnya di Desa Sidodadi kec. Tempurejo Kab. Jember.


DAFTAR PUSTAKA


Sumber Primer
1.      Nama   : Bapak Siman
Alamat                        : Desa Sidodadi Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember.
Pekerjaaan       : Petani
Usia                 : 68 Tahun
2.      Nama   : Bpak. Suki
Alamat      : Dusun Krajan Sidodadi
Usia           : 75 Tahun
Pekerjaan   : Petani
Kepada:
3.      Nama   : Purwati
Alamat            : Desa Sidodadi
Usia     : 39 Tahun
Pekerjaan         : Ibu Rumah Tangga
SUMBER PENUNJANG
jurnal Jantra Vol II. No. 3 Juni 2007. Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa.  Titi Mungfangati.





LAMPIRAN –LAMPIRAN



 Tahlilan

Kue Apem

Jenang 2 macam warna

Ambengan

Sesaji

Sandingan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.