ANALISIS TRADISI SALAMATAN SETELAH KEMATIAN
DI DESA SIDODADI KEC. TEMPUREJO KAB. JEMBER
MAKALAH
Diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Antropologi
Dosen pembimbing
Mata Kuliah Drs. Sudjitro
Oleh :
Ika Devita Sari (120210302057)
Muhasanah (120210302031)
Nurma’rifa (120210302087)
Hajar Risa A. (120210302051)
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT.
Berkah rahmatNya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah Antropologi yang berjudul “Tradisi Upacara Salamatan
Setelah Hari Kematian “
Desa Sidodadi kec. Tempurejo Kab. Jember dengan sebaik-baiknya.
Terimakasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak, atas
kerelaaan waktu, tenaga dan ilmunya, sehingga dapat membantu saya dalam
menyelesaikan tugas ini dengan baik, diantaranya kepada:
1.
Drs.
Sudjticro selaku Dosen pembimbing Mata Kuliah Antropologi, yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi mata pembelajaran mata kuliah Antropologi;
2.
Warga
Desa Sidodadi Bapak Suki, Bapak Siman serta Ibu Wati, yang telah memberikan
informasi mengenai tradisi Upacara
Salamatan Setelah Hari Kematian;
3.
Perpustakaan yang telah memberikan fasilitas buku untuk
menambah referensi berdasarkan pada tema yang ada;
4.
Teman-teman
yang telah memberikan berbagai motivasi yang bersifat membangun dalam
menyelasaikan tugas ini;.
Semoga dengan hasil penelitian ini, bisa
bermanfaat bagi semua kalangan, khususnya mahasiswa Universitas Jember, dan
umumnya para pembaca. Penulis menyadari
bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun, supaya bisa menambah informasi lebih
akurat dan lengkap.
Jember, 07 Maret 2014 Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
ciptaan dan milik Allah, lahir di alam dunia untuk beribadah kepada-Nya dan
akan kembali ke hadirat-Nya (Al-Baqarah (2): 156), (Al-Dzarriyat (51):
56). Manusia diciptakan dari tanah, akan dikembalikan ke tanah dan
kelak akan dibangkitkan dari tanah (Thaha (20): 55). Kehidupan manusia melalui
siklus kehidupan yang panjang berpindah dari satu alam ke alam yang lain : dari
alam arwah ke alam kandungan, lahir ke alam dunia, transit
ke alam barzah (alam kubur) dan akhirnya menetap selamanya di alam
akhirat.
Kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan perpindahan dari alam dunia ke
alam penantian (barzah/kubur). Kematian merupakan pintu masuk yang harus
dilewati oleh setiap manusia dalam proses kehidupannya. Alam kubur bisa berupa
taman surga yang luas dan indah, namun juga bisa berupa jurang neraka yang
mengerikan, bergantung amal perbuatan manusia ketika di alam dunia; becik
ketitik ala ketoro, ngunduh wohing pakarti (Al-Jumu’ah (62): 8).
Ketika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali pahala dari
tiga amal yaitu, sedekah jariyah, ilmu yang manfaat dan anak saleh yang
mendoakannya (Al-Hadis). Kiriman dari anak cucu, sanak keluarga dan teman baik
berupa do’a, sedekah dan amal saleh yang lain bermanfaat dan sangat berarti
bagi orang yang sudah meninggal untuk menambah kenikmatan atau mengurangi penderitaannya
di alam kubur (Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah : 168). Pemahaman agama
semacam ini bertemu dengan budaya Jawa kemudian menyatu secara simboisis dalam
bentuk upacara tradisi kematian.
Upacara tradisi kematian yang meliputi upacara pemakaman, sur tanah, selamatan
tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, mendak pisan, mendak
pindo dan upacara seribu hari yang berlaku sampai sekarang di dalam masyarakat
Jawa khususnya di Jember selatan tepatnya di Desa Sidodadi kec. Tempurejo Kab.
Jember adalah banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek ajaran agama Islam yang
bertemu dan menyatu secara simboisis dengan budaya Jawa.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalahnya yaitu:
1.
Apa tujuan
diadakan tradisi upacara salamatan
setelah hari kematian?
2.
Bagaimanaka
proses pelaksanaan tradisi upacara salamatan
setelah hari kematian?
3.
Bagaimanakah
makna yang terkandung dalam tradisi upacara salamatan setelah hari kematian?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun
tujuan dari makalah ini berdasarkan rumusan masalah diatas antara lain:
1.
Untuk
mengetahui tujuan diadakan tradisi
upacara salamatan setelah hari kematian
2.
Untuk
mengetahui proses pelaksanaan tradisi
upacara salamatan setelah hari kematian
3.
Untuk
mengetahui makna yang terkandung dalam tradisi upacara salamatan setelah hari
kematian
Adapun Manfaatnya yaitu:
Adapun manfaat dari makalah
ini supaya memberi wawasan dan menambah pengetahuan tentang tradisi-tradisi
yang ada di lingkup masyarakat Jawa khususnya di wilayah Desa Sidodadi Kec.
Tempureko Kab. Jember Jawa Timur bagi para pembaca khususnya Mahasiswa
Universitas Jember dan umumnya para budayawan, dan masyarakat yang membaca.
BAB II PEMBAHASAN
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa tehnik pengumpulan data
yang menggunakan teknik wawancara dengan salah satu masyarakat yang dianggap
sesepuh oleh warga setempat, yang bernama Mbah Siman dari Dasa Sidodadi dan
mbah Suki warga Karang Templek Kec. Ambulu yang sering menjadi penuntun setiap
pelaksanaan tradisi-tradisi yang ada di desa setempat, serta ibu Purwati warga
Desa Sidodadi. Juga berdasarkan kajian pustaka yang ada di berbagai sumber. Adapun hasilnya kami susun sebagai
berikut:
Menurut
Koentjaraningrat, pengertian Slametan adalah suatu upacara seremonial
sederhana, makan bersama, makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan.
Semua tetangga, kerabat dan saudara harus diundang dan keselarasan diantara
para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Dalam slametan terungkap
nilai-nilai yang dirasakan sangat mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai
kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaligus slametan menimbulkan
perasaan kuat bahwa semua warga adalah sama derajadnya satu sama lain, kecuali
ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Ini membuktikan bahwa slametan
begitu penting dalam tatanan masyarakat Jawa sejak dulu, yaitu sebagai
sebuah media untuk mempererat tali silaturahmi antar tetangga dan kerabat.
Berdasarkan pendapat
mbah Suki, bahwa sejarah awalnya diadakan salamatan Malaikat ada 4 yaitu nur
cahyani bumi dirusak bongso kajiaman, Nur manusia kui transyah maulana bakir,
menyerangi bangsa kajiman, bongso jin kalah-kalah’e nyerah lan nduwe janji
anali trun mbesok ojo diganggu. Tengerono cikala bakal bibit, yo kui Cok bakal,
Jambe ayu, suruh ayu, tumbak sewu.
Upacara
kematian merupakan warisan budaya nenek moyang. Setiap orang dalam keluarga/rumah
tangga pasti pernah atau akan mengalami kematian, yang oleh masyarakat
disebutnya kesripahan. Mereka melaksanakan upacara kematian jika
ada salah satu anggota keluarga atau warga desa yang meninggal dunia,
dikatakan sebagai naluri dan merupakan kewajiban tradisi masyarakat. Sudah
barang tentu karena sebagai tradisi, maka dilakukannya upacara kematian juga
berdasarkan pada aturan-aturan atau norma-norma tertentu. Sebab pada prinsipnya
tradisi adalah suatu kebiasaan yang berlakunya berdasarkan norma-norma
tertentu.
Jadi
tujuan dilaksanakannya uapcara kematian adalah untuk menghormati orang yang
mati. Menurut kepercayaan masyarakat, orang mati hanyalah mati raganya atau
fisiknya, sedang jiwa atau nyawa atau roh tetap terus hidup. Roh orang yang
telah mati mempunyai kemampuan dan kekuatan yang luar biasa, jauh di luar
kemampuan dan kekuatan orang yang masih hidup.
Namun
pendapat dari Mbah Suki bahwa diadakannya salamatan
kematian karena perjuangan anak karo wong tuwo tembung mati, isi
dirumati, wong tuo antarane anak pinter ora iku soko kitab, mung soko
pangkonanae wong tuo sukalane mbok bilih ninggal kui ora njaluk, ping pingengat
jowo pengeleng-ngeleng, ndungo dibarengi sodakoh jariah krono Allah lan iling
roso sandangan sudah lama itu dikira sudah tidak layak diganteni yaoiku kain
kafan lan sak surupe.
Masyarakat juga percaya bahwa perjalanan roh menuju ke alam baka
yang disebutnya alam akhirat, yang merupakan perjalanan jauh, perjalanan berat
yang penuh gangguan dan risiko, perjalanan yang lama, yang semuanya ia tak
dapat dibandingkan dengan dunia ini. Semuanya bersifat gaib. Meskipun demikian
jika “bekal” yang dibawa cukup, semuanya akan dapat dihadapi dengan baik. Hal
ini dikaitkan dengan perbuatan orang sewaktu masih hidup, yang mana perbuatan
baik kelak akan menerima pahala dan sebaliknya perbuatan jahat akan menerima hukuman
(Mulyadi dkk., 1983: 93).
Berdasarkan warga setempat tradisi salamatan ini bertujuan untuk
meringankan beban penderitaan Almarhum yang sudah meninggal, dengan cara
diadakan salamatan setelah prosesi pemakaman dan disertai pembacaan do’a-do’a ,
menyedekahkan barang dikhususkan untuk sedekahnya orang yang sudah meninggal,
kiriman itu dilakukan oleh sanak keluarga bersama dengan masyarakat setempat.
2.2 Proses pelaksanaan tradisi upacara salamatan setelah hari kematian
Salah satu
adat jawa diantaranya selamatan meninggalnya seseorang. Pelaksanaan
selamatan di masyarakat Jawa yaitu selamatan untuk 3 hari , 7 hari, 40 hari,
100 hari, pendak sepisan, pendak pindho dan yang terakhir sebagai puncaknya
adalah nyewu (1000 hari). Masyarakat Jawa menghitung hari untuk selamatan umumnya tidak dihitung
satu persatu dari hari meninggalnya.Ada ada cara yang diyakini lebih praktis
daripada menghitung satu-persatu. Karena selamatan hari kematian dihitung
berdasarkan penanggalan jawa praktis, untuk dapat menghitungnya kita harus
mengenal dulu sistem penanggalan jawa.
Menurut sejarah, adat Jawa menggunakan kalender Hijriyah (sebagai panduan beribadah umat Islam) pada
tahun 1625 Masehi mengganti penggunaan kalender jawa dari sistem penanggalan
Saka 1547 tahun Saka. Diakui atau tidak di Indonesia dikenal beberapa sistem
kalender, diantaranya kalender Hijriyah, kalender Jawa, kalender Masehi. Setiap
sistem penanggalan dalam 1 tahun terdiri dari 12 bulan. Perhatikan nama bulan
dalam kalender di bawah ini, terdapat perbedaan dalam jumlah hari. Nama bulan
dan jumlah hari dalam sistem kalendder Hijriyah, kalender Jawa dan Kalender
Masehi sebagai berikut:
No
|
Bulan Hijriyah
|
Bulan Jawa
|
Jumlah Hari
|
Bulan Masehi
|
Jumlah Hari
|
1
|
Muharam
|
Sura
|
30
|
Januari
|
31
|
2
|
Shafar
|
Sapar
|
29
|
Febuari
|
28/29
|
3
|
Rabi’ul Awal
|
Mulud
|
30
|
Maret
|
31
|
4
|
Rabi’ul Akhir
|
Bakdamulud
|
29
|
April
|
30
|
5
|
Dzulhijah
|
Jumadil Awal
|
30
|
Mei
|
31
|
6
|
Jumadil Akhir
|
Jumadil Akhir
|
29
|
Juni
|
30
|
7
|
Rajab
|
Besar
|
29
|
Juli
|
31
|
8
|
Sya’ban
|
Ruwah
|
29
|
Agustus
|
31
|
9
|
Ramadhan
|
Pasa
|
30
|
September
|
30
|
10
|
Syawal
|
Sawal
|
29
|
Oktober
|
31
|
11
|
Dzulqaidah
|
Sela
|
30
|
November
|
30
|
12
|
Jumadil Awal
|
Rejeb
|
30
|
Desember
|
31
|
jumlah
|
354/355
|
jumlah
|
365/366
|
Kalender Hijriyah dibangun berdasarkan
rata-rata siklus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), memiliki 12 bulan
dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam
satu tahinnya adalah (12x29,53059 hari= 354,36708 hari). Hal inilah yang
menjelaskan 1 tahun Kalender Hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding 1
tahun Kalender Masehi. Sistem kalender Jawa dari tiap-tiap bulan tersebut
dibagi dalam beberapa hari yang disebut dengan pasaran dan siklusnya berputar
setiap 5 (lima) hari, yaitu:
No
|
Nama Pasaran
|
1
|
Kliwon
|
2
|
Legi
|
3
|
Paing/Pahing
|
4
|
Pon
|
5
|
Wage
|
Satu hal yang sangat penting untuk diketahui adalah
pada Kalender Hijriyah, penentuan dimulainya sebuah hari/tanggal berbeda dengan
pada Kalender Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai
pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Hijriah, sebuah
hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya Matahari di tempat tersebut.
Upacara-upacara selamatan di luar upacara pemakaman ada 8 (delapan)
macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung dina, patang puluh dina,
satus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina.
- Surtanah
Surtanah
berasal dari kata (Jawa: ngesur tanah), yang berarti “nylameti wong kang
mentas mati” (Porwodarminto, 1939: 396) yang maksudnya melakukan selamatan
terhadap orang yang baru saja meninggal.
“Ubarampe” atau sesajen merupakan sebuah perlengkapan
dan materi dalam upacara surtanah di Desa Sidodadi. Adapun macam-macamnya
yaitu:
1)
Sega
asahan/sega ambengan; yaitu nasi putih yang ditaruh di atas nyiru/tampah dan
disertai lauk-pauknya. Terdiri dari 1 telur rebus, tahu, mie/sayur oseng. Potongan
ayam ingkung kadang juga terdapat serondeng.
2)
sayur tidak
pedas, dan “kuluban” atau gudangan (daun-daunan yang telah dimasak)
3)
Sega wuduk atau
sego gurih; yaitu nasi yang diberi santan, garam dan daun salam.
4)
Ingkung bumbu
lembaran; yaitu daging ayam jantan utuh (diingkung) yang dimasak dengan bumbu
bawang merah/brambang, garam, gula kelapa/gula jawa, santan, daun salam.
Ditambah lagi dengan 3 lembar daun kobis atau kol, dan inilah yang disebut
bumbu lembaran.
5)
Lauk yang lain
lagi adalah goreng-gorengan yang berujud ikan asin, bregedel, kerupuk, tonto
dan lain-lain.
6)
kembang telon
(mawar, melati, kenanga) sering ditambah bunga kantil. Atau istilahnya Kembang
rasulan/bunga rosul.
7)
Bubur atau
jenang abang dan putih; yaitu bubur yang diberi gula kelapa (jenang abang) dan
bubur biasa (jenang putih)
8)
Wajib, yaitu
materi selamatan yang biasanya berupa uang sekedarnya, yang nantinya diberikan
kepada kaum.
Semua materi di atas disajikan pada suatu tempat, yang kemudian “dikepungake”/dikepung
oleh tetangga dan sanak keluarga yang hadir. Pelaksanaan inilah yang disebut
dengan “kenduren” atau kepungan. Bila semuanya itu telah “diujubake”
oleh kaum yang biasanya ditutup dengan doa berbahasa Arab, kemudian
dibagi-bagikan kepada semua yang hadir.
- Telung dina/nelung dino
Upacaraselamtan
nelung dina ini dilaksanakan tepat 3 hari sesudah kematian seseorang. Telu
berarti tiga, dan dina berartu hari. Materi atau perlengkapan pada
selamatan telung dina hampir sama pada selamatan surtanah, tetapi tanpa tumpeng
pungkur beserta lauk pauknya, kemudian ditambah dengan takir pontang, yaitu
wadah dari daun pisang dan daun kelapa yang masih muda, berisikan nasi putih
dan nasi punar, yaitu nasi yang diberi kunyit, sehingga disebut juga disebut nasi/sega kuning. Selain itu juga
ditambah ancah, yaitu sayur kecambah, kacang panjang yang telah
dipotong-potong, bawang merah yang telah diiris-iris, garam dan lain
sebagainya. Dalam hal penggunaan sajen juga sama.
- Pitung dina/mitung dina
Upacara
selamatan pitung dina/tujuh hari itu tepat hari kematian seseorang. Rangkaian
materinya sama dengan selamatan telung dina/tiga hari, tetapi ditambah dengan
apem ketan kolak. Ada sebagian anggota masyarakat yang berpendapat bahwa apem
ketan kolak itu diadakan hanya mulai pada selamatan patang puluh dina/empat
puluh hari. Masalah sesajen masih sama.
- Patang puluh dina/matang puluh dina
Upacara
selamatan patang puluh dina/empat puluh hari itu dilaksanakan tepat 40 hari
dari kematian seseorang. Materi atau perlengkapannya sama dengan upacara
selamatan pitung dina. Hanya saja materi yang berupa ingkung ayam biasanya
diusahakan dari ayam yang mempunyai warna putih mulus. Akan tetapi jika
ternyata tidak didapatkan ayam jantan yang putih mulus, dapat juga digunakan
ayam jantan biasa. Pelaksanaan sesajen juga sama dengan upacara selamatan
sebelumnya.
- Satus dina/nyatus dina
Upacara
selamatan satus dina/seratus hari ini dilaksanakan tepat seratus hari sejak
kematian seseorang. Macam materi atau perlengkapan dan sesajen juga sama dengan
di atas.
- Pendak pisan/mendak pisan
Upacara
selamatan pendak pisan ini dilaksanakan tepat tempo setahun sejak kematian
seseorang. Materi dan sesajennya juga sama dengan di atas.
- Pendak pindo/mendak pindo
Upacara
selamatan pendak pindo ini dilaksanakan tepat tempo 2 tahun sejak hari kematian
seseorang. Materi dan perlengkapan serta sesajennya juga sama dengan di atas.
- Sewu dina/nyewu dina
Upacara
selamatan sewu dina atau 1000 hari ini dilaksanakan tepat 1000 hari sejak
kematian seseorang. Selamatan sewu dina ini biasanya diadakan secara besar-besaran,
sebab yang dianggap terakhir kalinya. Materinya sama dengan di atas, tetapi
biasanya ditambah dengan potong kambing, dara/merpati dan bebek/itik, di
samping juga ayam. Ada syarat-syarat tertentu bagi binatang yang akan dipotong
pada upacara selamatan kematian ini yang memotong juga kaum, baru
penyelesaiannya dilakukan oleh orang lain yang telah ditunjuk.
Pada upacara selamatan ini selain diadakan
sesajen seperti selamatan-selamatan sebelumnya, juga ditambah sesajen yang lain
yang berupa klasa bangka/tikar, benang lawe, jodog/tempat menaruh lampu
sentir, clupak berisi minyak goreng/lenga klentik beserta sumbu/uceng-uceng,
1 botol minyakgoreng/minyak klentik, sisir, minyak wangi, cermin, kapas,
kemenyan, pisang raja/gedang ayu 6 sisir atau 3 tangkep, gula
kelapa atau gula jawa 2 buah atau 1 tangkep, 1 buah kelapa
utuh, 1 takir beras atau lebih, benang jahit dan jarum dan bunga. Semua itu
disajikan di tempat melaksanakan kenduri atau pembacaan ayat-ayat Al Qur’an;
sajen itu nantinya akan menjadi bagian atau berkatan si kaum dan santri
yang ikut dalam pembacaan ayat-ayat Al Qur’an juga mendapatkan berkatan 1
tebok atau 1 kroso (wadah yang terbuat dari daun kelapa), yang
di dalamnya berisi bermacam-macam makanan dan uang sekedarnya.
2.3 Makna yang terkandung dalam tradisi upacara salamatan setelah hari kematian
a)
Sega asahan atau ambengan; melambangkan suatu maksud agar arwah si mati
maupun keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada “pembenganing
Pangeran”, artinya selalu mendapatkan ampun atas segala dosa-dosanya dan
diterima di sisiNya.
b)
Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran maksudnya untuk menjamu
roh para leluhur.
c)
Ingkung ayam melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah kepada
kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung atau diingkung mempunyai makna “dibanda”
atau dibelenggu.
d)
Kembang rasulan atau kembang telon melambangkan keharuman doa yang
dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir batin. Di samping itu bau harus
mempunyai makna kemuliaan.
e)
Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan kesucian dan
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Makanan khas yang mejadi symbol doa,
harapan, persatuan dan semnangat masyarakat orang jawa.. Di samping itu bubur
merah untuk memule atau tanda bakti kepada roh dari bapak atau roh
laki-laki dan bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh dari ibu atau roh
perempuan. Secara komplitnya adalah sebagai tanda bakti kepada bapa angkasa
ibu pertiwi atau penguasa langit dan bumi, semua dibekteni dengan
harapan akan memberikan berkah, baik kepada si mati maupun kepada yang masih
hidup.
f)
Wajib melambangkan suatu niat ucapan terima kasih kepada kaum
yang telah “ngujubake” menjabarakan tujuan selamatan itu, dan terima
kasih pula kepada semua fihak yang ditujunya, semoga semuanya itu terkabul.
g)
Sega punar atau nasi kuning melambangkan kemulian, sebab warna atau cahaya
kuning melambangkan sifat kemuliaan. Juga dimaksudkan sebagai jamuan mulia
kepada yang dipujinya.
h)
Apem melambangkan payung dan tameng, dan dimaksudkan agar perjalanan
roh si mati maupun yang masih hidup selalu dapat menghadapi tantangannya dan
segala gangguannya berkat perlindungan dari yang maha kuasa dan para
leluhurnya. Dan lainnay ada yang mengatakan sebagai symbol permintaan maaf atau
ngapuro.
i)
Ketan adalah salah satu makanan dari beras yang mempunyai sifat”pliket’
atau lekat. Dari kata pliket atau ketan, ke-raket melambangkan suatu
keadaan atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa.
j)
Kolak adalah melambangkan suatu hidangan minuman segar atau untuk “seger-seger”
sebagai pelepas dahaga. Disamping itu juga melambangkan suatu keadaan
atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa. Atau
lambing kebenaran (Kolado).
k)
Kambing,
merpati dan itik melambangkan suatu
kendaraan yang akan dikendarai oleh roh si mati.
Materi sajian lain seperti tikar, benang lawe, jodog,
sentir, clupak, minyak klentik, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, pisang,
beras, gula, kelapa, jarum dan lain sebagainya yang mana hal ini biasanya
pada selamatan seribu hari adalah sebagai lambang dari segala perlengkapan
hidup manusia sehari-hari, dan semua itu dimaksudkan sebagai bekal roh si mati
dalam menjalani kehidupan di alam baka.
Adapun lambang atau makna dari semua itu antara lain :
Ø Benang lawe adalah benag putih sebagai lambang tali suci sebagai
pengikat atau tali hubugan antara keluarga yang ditinggalkan dengan yang sudah
pergi jauh itu.
Ø Jodog dan sentir adalah lambang penerang, maksudnya agar roh si
mati tadi selalu mendapatkan terang.
Ø Clupak berisi minyak dan sumbu melambangkan obor di perjalanan dan
semangan yang tinggi.
Ø Minyak klentik 1 botol sebagai lambang bekal cadangan jika
sewaktu-waktu kehabisan atau lampunya mati. Sebab kebiasaan orang Jawa jaman
dulu menggunakan minyak lampu bukan dari minyak tanah seperti sekarang,
melainkan denga minyak kelapa atau minyak klentik.
Ø Sisir, minyak wangi dan cermin melambangkan sebagai perlengkapan make
up atau untuk “dandan’/menghiasi diri, agar rapi dan wangi, jika
perempuan ibarat seperti bidadari, jika laki-laki ibarat seperti satriya yang
tampan.
Ø Kapas yang biasa sebagai alas atau isi bantal melambangkan bantal
suci.
Ø Pisang raja sebagai lambang persembahan kepada yang maha kuasa di samping
itu juga sebagai buah segar.
Ø Beras, gula kelapa melambangkan makanan beserta lauk dan bumbunya,
sebagai bekal hidup di alam kelanggengan.
Ø Jarum dan perlengkapannya sebagai lambang alat pembuat pakaian,
maksudnya sebagai bekal untuk membuat pakaian jika sewaktu pakaiannya rusak.
Ø “Bala pecah” sebagai lambang perlengkapan rumah tangga.
Ø Sapu gerang/sapu lidi yang
telah usang atau tua, sebagai lambang tombak seribu, maksudnya adalah sebagai
senjata bila menemui bahaya. Disamping sapu gerang biasanya juga diikutsertakan
pisau dan sujenpring ampel. Keduanya sebagai lambang senjata.
Ø Dlingo bengle sapiturute
atau rempah-rempah, sebagai lambang obat-obatan jika terkena sakit, sewaktu di
perjalanan atau di alam yang baru itu.
Ø Telor melambangkan
kebulatan atau kemanunggalan berbagai sifat dan tujuan sebab telor itu sendiri
terdiri dari berbagai lapisan, dan masing-masing lapisan mempunyai makna
sendiri-sendiri.
Ø Hitam, yaitu pada kulit keras mengandung makna atau maksud
keteguhan hati dan keteguhan cita-cita atau tujuan.
Ø Merah, yaitu pada kulit lunak, mengandungmakna keuletan dan
keberanian.
Ø Putih, yaitu pada lapisan putihan telur, mengandung makan kesucian
dan ketulusan hati.
Ø Kuning, yaitu pada lapisan kuning telur, mengandung makna
kepandaian, kebijaksanaan dan kewibawaan serta kemuliaan.
Ø Hijau, yaitu pada lapisan terdalam atau titik pusat telor,
mengandung makna ketenganan, kesabaran dan kehidupan abadi.
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Kehidupan manusia melalui siklus kehidupan yang panjang berpindah
dari satu alam ke alam yang lain : dari alam arwah ke alam kandungan,
lahir ke alam dunia, transit ke alam barzah (alam kubur) dan
akhirnya menetap selamanya di alam akhirat. Kematian bukanlah akhir
kehidupan, melainkan perpindahan dari alam dunia ke alam penantian
(barzah/kubur).
Ketika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali
pahala dari tiga amal yaitu, sedekah jariyah, ilmu yang manfaat dan anak saleh
yang mendoakannya (Al-Hadis). Kiriman dari anak cucu, sanak keluarga dan teman
baik berupa do’a, sedekah dan amal saleh yang lain bermanfaat dan sangat
berarti bagi orang yang sudah meninggal untuk menambah kenikmatan atau
mengurangi penderitaannya di alam kubur.
Upacara tradisi kematian yang meliputi upacara pemakaman, sur
tanah, selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, mendak
pisan, mendak pindo dan upacara seribu hari yang berlaku sampai sekarang di
dalam masyarakat Jawa khususnya di Jember selatan tepatnya di Desa Sidodadi
kec. Tempurejo Kab. Jember.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber
Primer
1. Nama : Bapak Siman
Alamat :
Desa Sidodadi Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember.
Pekerjaaan : Petani
Usia :
68 Tahun
2. Nama
: Bpak. Suki
Alamat :
Dusun Krajan Sidodadi
Usia : 75 Tahun
Pekerjaan : Petani
Usia : 75 Tahun
Pekerjaan : Petani
Kepada:
3. Nama : Purwati
Alamat : Desa Sidodadi
Usia : 39 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Desa Sidodadi
Usia : 39 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
SUMBER PENUNJANG
jurnal Jantra Vol II. No. 3 Juni 2007. Tradisi Ziarah Makam
Leluhur Pada Masyarakat Jawa. Titi
Mungfangati.
https://www.Facebook.com/Giusepemezza.pranacitra/posts/545127862220092. diunduh tanggal 8 Maret 2014.
LAMPIRAN –LAMPIRAN
Tahlilan
Kue Apem
Jenang 2 macam
warna
Ambengan
Sesaji
Sandingan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar