MENGEMBANGKAN CARA BERPIKIR SEJARAH (HISTORICAL THINKING) DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang
Studi
Dosen Pengampu Dr. Suranto, M.Pd.
Oleh :
Hajar Riza Asyiyah (120210302051)
Kelas B
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang “Mengembangkan Cara Berpikir Sejarah dalam Pembelajaran Sejarah” dengan tepat waktu. Penulisan makalah ini, kami
gunakan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Strategi Belajar Mengajar
Bidang Studi.
Terima kasih kami sampaikan
kepada Dr. Suranto, M.Pd selaku dosen
pembimbing mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi. Kami juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah banyak membantu
dan memberikan motivasi kepada kami dalam penyelesaian makalah ini.
Dalam pembuatan makalah
ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga kami selaku penyusun
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang nantinya akan kami gunakan
sebagai perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis maupun pembaca.
Jember, Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berpikir sejarah didefinisikan sebagai
seperangkat keterampilan berpikir yang menjadikan siswa harus belajar dari
sejarah “… that students of history
should learn as a resuil of studying history”. Dalam proses pembelajaran
terjadi interaksi yang berkesinambungan antara guru dengan siswa, guru atau
siswa dengan lingkungan baik di dalam maupun di luar kelas. Proses interaktif
yang terjadi menempatkan siswa terlibat aktif megembangkan pengetahuan,
potensi, keterampilan dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.
Di dalam prinsip-prinsip kegiatan
belajar mengajar, posisi siswa adalah sebagai subjek. Siswa dilibatkan secara
aktif dalam proses pembelajaran dan bukan terpusat pada guru. Namun hal ini
bertolak belakang dengan kegiatan pembelajaran di lapangan yang sebagian besar
kegiatan pembelajaran sejarah memposisikan siswa sebagai objek. Mereka menerima
setumpukan fakta sejarah dan hasil interpretasi guru terhadap fakta-fakta
tersebut yang telah disampaikan oleh pengajar. Siswa tidak diberikan kesempatan
untuk membangun dan memberikan interpretasinya terhadap peristiwa masa lampau.
Oleh karena itulah dalam pembelajaran
sejarah menginginkan adanya pengembangan keterampilan berpikir sejarah juga
pemahaman tentang sejarah, maka diperlukan suasana belajar yang member kesempatan
kepada siswa untuk melatih kemampuan kognitif, afektif dan psikomotornya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah
diatas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1.2.1
Bagaimanakah
definisi dari cara berpikir sejarah (historical thinking)?
1.2.2
Apa sajakah
konsep dasar dari berpikir sejarah (historical thinking)?
1.2.3
Bagaimanakah
cara mengembangkan berpikir sejarah (historical thinking)?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui
definisi dari cara berpikir sejarah (historical thinking).
1.3.2
Untuk mengetahui
konsep dasar dari berpikir sejarah (historical thinking).
1.3.3
Untuk mengetahui
cara mengembangkan berpikir sejarah (historical thinking).
1.4 Manfaat
Dengan adanya penulisan makalah ini
diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi pembaca dalam mengembangkan cara berpikir
sejarah (historical thinking) khusunya dalam pembelajaran sejarah.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Berpikir Sejarah (Historical Thinking)
Menurut Bruce A. Van Sledright (2003)
dari Cotlege of Education University of
Maryland memberikan pengertian historical thinking berdasarkan temuan
penelitiannya. Apa yang dilakukan oleh siswa dalam upaya untuk mengembangkan
keterampilan berpikir sejarah pada prinsipnya adalah untuk mengajak siswa
melibatkan kegiatan mentalnya dalam menganalisis, mengkritisi sebaran fakta,
informasi, dan catatan sejarah. Keterampilan ini juga menuntut siswa agar mampu
mendengar, membaca narasi sejarah, dan mampu menjelaskan mengapa sesuatu itu
dapat terjadi. Oleh karena itulah kebutuhan akan artefak, dokumen, catatan
sejarah sangat diperlukan dalam membangun keterampilan berpikir sejarah.
Pelajaran sejarah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
keterampilan berpikir selain pemahaman materinya.
Historical
Thinking, kemampuan berpikir
kesejarahan yang memungkinkan anak atau
siswa untuk membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang;
membangun pertanyaan; mencari dan mengevaluasi bukti-bukti; membandingkan dan
menganalisis kisah-kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari
masa lalu; menginterpretasikan catatan-catatan sejarah; dan mengkonstruksinarsi
sejarah menurut versi masing-masing siswa atau anak.
2.2 Konsep Dasar Berpikir Sejarah (Historical Thinking)
2.2.1 Diakronis dan Sinkronis
Diakronik
berasal
dari kata diachronich; (dia, terdiri dari dua kata, yaitu dia
dalam bahasa latin artinya melalui atau melampaui dan chronicus artinya
waktu). Diakronis artinya memanjang dalam waktu tetapi terbatas dalam ruang.
Berpikir diakronik adalah berpikir kronologis (urutan) dalam menganalisis
sesuatu. Kronologis adalah
catatan kejadian-kejadian yang diurutkan sesuai dengan waktu kejadiannya.
Kronologi dalam peristiwa sejarah dapat membantu merekonstruksi kembali suatu
peristiwa berdasarkan urutan waktu secara tepat, selain itu dapat juga membantu
untuk membandingkan kejadian sejarah dalam waktu yang sama di tempat berbeda
yang terkait peristiwanya.
Sejarah
itu ilmu diakronis, yang mementingkan proses, sejarah akan membicarakan suatu
peristiwa tertentu yang terjadi pada suatu tempat tertentu sesuai dengan urutan
waktu terjadinya. Dengan pendekatan diakronis, sejarah berupaya menganalisis evolusi
atau perubahan sesuatu dari waktu ke waktu, yang memungkinkan seseorang untuk
menilai bahwa perubahan itu terjadi sepanjang masa. Sejarawan akan menggunakan
pendekatan ini untuk menganalisis dampak perubahan variabel pada sesuatu,
sehingga memungkinkan sejarawan untuk mendalilkan mengapa keadaan tertentu
lahir dari keadaan sebelumnya atau mengapa keadaan tertentu berkembang atau
berkelanjutan. Contoh:
·
Perkembangan
Sarekat Islam di Solo, 1911-1920,
·
Terjadinya
Perang Diponegaro, 1925-1930,
·
Revolusi
Fisik di Indonesia, 1945-1949,
·
Gerakan
Zionisme 1897-1948 dan sebagainya.
Sedangkan sinkronis
artinya meluas dalam ruang tetapi terbatas dalam waktu. Pendekatan sinkronik
biasa digunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Sinkronik lebih menekankan pada
struktur, artinya meluas dalam ruang. Pendekatan sinkronis menganalisa sesuatu
tertentu pada saat tertentu, titik tetap pada waktunya. Ini tidak berusaha
untuk membuat kesimpulan tentang perkembangan peristiwa yang berkontribusi pada
kondisi saat ini, tetapi hanya menganalisis suatu kondisi seperti itu.
Istilah memanjang dalam
waktu itu meliputi juga gejala sejarah yang ada didalam waktu yang panjang itu.
Ada juga yang menyebutkan ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang meneliti
gejala-gejala yang meluas dalam ruang tetapi dalam waktu yang terbatas.
Beberapa contoh penulisan sejarah dengan topik-topik dari ilmu sosial yang
disusun dengan cara sinkronik lainnya misalnya Tarekat Naqsyabandiyah dan
Qodiriyah di pesantren-pesantren Jawa.
Ilmu sejarah dan
ilmu-ilmu sosial ini saling berhubungan. Kita ingin mencatat bahwa ada
persilangan antara sejarah yang diakronik dan ilmu sosial lain yang sinkronik.
Artinya ada kalanya sejarah menggunakan ilmu sosial, dan sebaliknya, ilmu
sosial menggunakan sejarah ilmu diakronik bercampur dengan sinkronik. Contoh :
·
Peranan militer dalam politik
(1945-1999) yang ditulis seorang ahli ilmu politik;
·
Elit Agama dan Politik (1945- 2003) yang
ditulis ahli sosiologi.
Cara berpikir sinkronik sangat mempengaruhi kelahiran
sejarah baru yang sangat dipengaruhi perkembangan imu-ilmu sosial. Pengaruh itu
dapat digolongan ke dalam tiga macam, yaitu konsep, teori, dan permasalahan.
1.
Konsep
Bahasa latin conceptus
yang berarti gagasan atau ide. Para sejarawan banyak menggunakan konsep
ilmu-ilmu social. Sebagai contoh sejaawan Anhar Gonggong dalam
disertasinya tentang Kahar Muzakkar menggunakan konsep politik lokal
untuk menerangkan konflik antar gologan di Sulawesi Selatan. Konsep ilmu social
lain yang digunakannya adalah konsep dari psykologi etnis yang terdapat dalam
masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu sirik yang berarti harga diri atau martabat.
2.
Teori
Bahasa Yunani theoria
berarti kaidah yang mendasari suatu gejala, yang sudah melalui verifikasi.
Sebagai contoh adalah karya sejarawan Ibrahim Alfian, Perang di jalan Allah. Ia
menerangkan perang Aceh dengan teori perilaku kolektif dari ilmu social. Dalam
teori itu diterangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul, melalui dua syarat,
yaitu ketegangan structural dan keyakinan yang tersebar. Dalam kasus perang
Aceh yang diteliti Ibrahim Alfian dijelaskan adanya ketegangan antara orang
Aceh dengan pemerintah colonial Hindia Belanda (ketegangan structural), dan
keyakinan yang tersebar di kalangan masyarakat Aceh bahwa musuh mereka adalah
golongan kafir. Pertentangan antara kafir dan muslim itulah yang menghasilkan
ideology perang sabil.
3.
Permasalahan
Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu social
yang dapat diangkat jadi topic-topik penelitian sejarah. Soal seperti mobilitas
social, kriminalitas, migrasi, gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas
menengah dan sebagainya. Sebagai contoh adalah karya sejarawan Sartono
Kartodirdjo tentang perkembangan peradaban priyayi yang ditulis
berdasarkan permasalahan elite dalam pemerintahan kolonial, kemunculannya,
lambang-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.
2.2.2 Kausalitas
Kausalitas sejarah adalah sebab
terjadinya peristiwa sejarah. Dalam ilmu-ilmu sosial kedalaman
ilmu pengetahuan ditunjukkan sejauh mana ilmuwannya dapat menggali
sebab-musabab (sebab-akibat atau kausalitas) fenomena yang ditelitinya. Oleh
karena sifatnya nomotetis, maka mereka berusaha mencari sebab-musabab
yang umum melalui fenomena-fenomena tertentu, sehingga menjadi hukum kausalitas
yang permanen di manapun dan dalam waktu yang lama. Dalam perkembangannya
kemudian melahirkan suatu teori, yang dapat digunakan untuk menjelaskan
fenomena-fenomena kongkret yang ditemui.
Untuk mempertahankan rerlevansinya,
teori-teori dalam ilmu sosial itu diverifikasikan secara terus menerus,
sehingga menjadi kuat, yang kemudian disebut sebagai teori agung. Teori-teori
ini digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang ada sekarang maupaun
untuk memprediksi fenomena yang akan datang.
Sedangkan dalam ilmu sosial hukum
sebab-akibat tidak dapat ditegakkan secara penuh, terlebih lagi dalam ilmu
sejarah yang ilmuwannya tidak dapat mengamati secara langsung peristiwa yang
sudah lampau. Betapapun seringnya sejarawa
mengamati, meneliti, dan merekonstruksi fakta-fakta, kiranya akan sulit
untuk dapat merumuskan sebab-sebab umum. Hal ini dikarenakan sejarawan
terkendala dengan subjektifnya, harus menurunkan fakta-fakta dari dokumen yang
dinilai eviden. Kemudian dengan imajinasinya sejauh mungkin dalam sejarah
sejarawan merekonstruksi fakta menjadi sejarah.
Oleh karena subjektifitas yang
melekat pada sejarawan, mengakibatkan sebab-sebab itu menjadi beranekarangam
dan subjektif pula sifatnya, sehingga sulit untuk mengeneralisasikanya. Dalam
mengatasi permasalahan ini sejarawan harus dapat memilih dengan tepat dan mampu
memberikan argumentasi yang meyakinkan. Dalam hal ini sejarawan harus memilih
sebab mana yang akan dijadikan titik berat dalam penelitiannya. Oleh karena itu
hal ini harus sudah ditentukan pada waktu memilih dan menilai fakta sejarah,
sehingga dalam eksplanasinya semuanya sudah tersedia. Dengan demikian akan dihasilkan
laporan penelitian atau penulisan sejarah yang ilmiah.
2.2.3 Periodisasi
Komplek dan luasnya ruang lingkup
peristiwa sejarah, dengan waktu yang panjang, bidang atau aspeknya juga sangat
banyak, maka dibuatlah suatu periodisasi (babakan waktu) sejarah. Dari
deretan peristiwa masa lampau yang sedemikian banyaknya itu dibagi-bagi dan
dikelompokkan sifat ataupun bentuknya, sehingga membentuk satu kesatuan isi,
bentuk maupun waktu yang tertentu. Di dalam periodisasi diadakan serialisasi
rangkaian babakan menurut urutan zaman atau masa. Dalam setiap periode
mengungkapkan ikhtisar sejarah dan di dalamnya harus dapat dikenali jiwa atau
semangat setiap zaman, masing-masing pola dan struktur urutan kejadian atau
peristiwa-peristiwanya.
Tujuan daripada Periodisasi adalah:
a.
Memudahkan
pengertian. Gambaran
peristiwa-peristiwa masa lampau yang sedemikian banyaknya itu
dikelompok-kelompokkan, disederhanakan dan diikhtisarkan menjadi suatu tatanan (orde),
sehingga memudahkan pengertian.
b.
Melakukan
penyederhanaan. Gerak pikiran
dalam usaha untuk mengerti ialah melakukan penyederhanaan. Begitu banyaknya
peristiwa-peristiwa sejarah yang beraneka ragam dan bersimpangsiur itu sukar
atau ruwet disusunnya menjadi sederhana, sehingga pikiran mendapatkan ikhtisar
yang mudah diartikannya.
c.
Memenuhi
persyaratan sistematika ilmu pengetahuan.
Peristiwa-peristiwa masa lampau itu setelah dikelompok-kelompokkan kemudian
hubungan antara motivasi dan pengaruh-pengaruh peristiwa itu dikaitkan
(interelasi) lalu disusun secara sistematis. Sehingga dapat mengadakan tinjauan
secara menyeluruh terhadap peristiwa-peristiwa dan saling hubungannya dengan
berbagai aspeknya.
d.
Klasifikasi
dalam ilmu sejarah. Klasifikasi
dalam ilmu alam meletakkan dasar pembagian jenis, golongan, suku, bangsa, dan
seterusnya. Klasifikasi dalam ilmu sejarah meletakkan dasar babakan waktu. Masa
lalu yang tidak terbatas peristiwa dan waktunya, dipastikan bentuk dan waktunya
menjadi bagian-bagian babakan waktu. Periodisasi memberi bentuk dan corak cerita
sejarah. Dalam periodisasi itu harus mempunyai kriteria atas dasar motif-motif
atau pengaruh-pengaruh tertentu.
Contoh-contoh
periodisasi Sejarah Indonesia
·
Tahun 400, zaman prasejarah Indonesia
·
400 – 1500, zaman pengaruh Hindu-Budha
dan pertumbuhan Islam
·
1500 – 1670, zaman kerajaan Islam dan
mulai masuknya pengaruh Barat serta perluasan pengaruh VOC
·
1670 – 1800, masa penjajahan oleh VOC
·
1800 – 1811, masa pemerintahan Herman W.
Daendels
·
1811 – 1816, masa pemerintahan Thomas
Stamford Raffles (Inggris).
·
1816 – 1830, masa pemerintahan Komisaris
Jenderal dan perlawanan terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda
·
1830 – 1870, sistem tanam paksa oleh
Gubernur Van den Bosch
·
1870 – 1942, sistem ekonomi Liberal
Kolonial dan Politik Etis
·
1908, masa Pergerakan Nasional
·
1942 – 1945, masa pendudukan Jepang
·
1945 – 1949, perjuangan mempertahankan
Kemerdekaan
·
1949 – 1950, masa pemerintahan RIS
·
1950 – 1959, penerapan sistem Liberal
Parlementer
·
1959 – 1966, Masa demokrasi terpimpin
·
1966 – 1998, Masa Orde Baru
·
1998 – kini, Era Refarmasi
2.2.4 Interpretasi
Interpretasi Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap
sesuatu. Interpretasi dalam ilmu sejarah bisa disamakan dengan penafsiran yaitu
suatu metode penelitian sejarah yang berupa penggambaran informasi, baik dari
lisan, tulisan, gambar, atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Penggambaran dapat
muncul sewaktu penafsir melakukan penelitian terhadap suatu objek dengan
menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas, baik secara
sadar ataupun tidak.
Tujuan Interpretasi dalam Sejarah Tujuan interpretasi
biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang, seperti pada
propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan
membuat kebingungan. Tetapi interpretasi masih bisa di rumuskan dengan benar
bila kita dapat mengidentifikasikan suatu masalah yang membingungkan.
Menurut Kuntowijoyo, seorang sejarawan, dalam pekerjaannya
harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa
yang terjadi sesudahnya. Dalam kasus-kasus yang ada ini, batasan yang dipakai
sangat jelas. Pembatasan yang seharusnya dilakukan adalah, membatasi
interpretasi yang berkembang khusus pada keadaan yang sebenarnya terjadi. Jadi
jika imajinasi yang berkembang menjadi menginterpretasikan keadaan yang bukan
sebenarnya terjadi, maka telah terjadi manipulasi peristiwa yang
sebenarnya.Kemampuan interpretasi adalah menguraikan fakta-fakta sejarah dan
kepentingan topik sejarah, serta menjelaskan masalah kekinian. Tidak ada masa
lalu dalam konteks sejarah yang benar-benar aktual terjadi. Yang ada hanyalah
interpretasi-interpretasi histories.
2.2.5 Kronologis
Salah satu ciri dalam penulisan sejarah adalah penyusunan
secara kronologi, artinya peristiwa-peristiwa masa lampau itu disajikan
sesuai dengan urut-urutan waktu kejadiannya. Penyusunan secara kronologis
dimaksudkan untuk menghindarkan penempatan cerita secara acak-acakan tanpa
sistematika dan alur yang jelas (anakronisma). Penempatan tokoh dan
peristiwa yang tidak sesuai dengan urutan waktu kejadiannya akan berdampak
sejarah yang ditampilkan tidak sistematis dan terkesan waktu berjalan
bolak-balik. Hal ini tentu menyalahi gambaran waktu kejadian sebagai proses
yang diibaratkan sebagai garis lurus (linear), yang bergerak dari masa
lampau, masa kini, dan menuju masa depan. Contoh-contoh
kronologi :
·
17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan RI
·
15 September 1945
Sekutu mendarat di Jakarta
·
10 November 1945
Pertempuran Surabaya
·
4 Januari 1946 Ibu
kota RI pindah ke Jogjakarta
·
25 Maret 1947
Persetujuan Linggarjati
·
21 Juli 1947
Agresi militer Belanda I
·
1 Agustus 1947 Seruan
gencatan senjata dari PBB
·
17 Januari 1948
Perjanjian Renville
·
27 Desember 1949
Pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda.
2.3 Cara Mengembangkan Berpikir Sejarah (Historical Thinking)
Untuk belajar berpikir sejarah maka
diperlukan imajinasi terhadap konteks sejarah dalam kaitannya untuk membuat hal
tersebut bisa diterima akal pikirannya. Berpikir kesejarahan adalah kemampuan
yang harus dikembangkan agar siswa dapat membedakan waktu lampau, masa kini,
dan masa yang akan datang, melihat dan
mengevaluasi evidensi, membandingkan dan menganalisis antara cerita sejarah, ilustrasi dan catatan dari masa
lalu; menginterpretasikan catatan sejarah;
dan membangun suatu cerita sejarah berdasarkan pemahaman yang sesuai
dengan tingkat perkembangan berpikirnya.
Sejarah dapat membuka kesempatan bagi
siswa untuk melakukan analisis dan mengembangkan analisis terhadap aktivitas
manusia dan hubungannya dengan sesama. Agar dapat tercipta atmosfir yang
demikian, maka siswa harus dikondisikan untuk aktif bertanya dan belajar (active learning), tidak hanya secara
pasif menyerap informasi berupa fakta, nama, dan angka tahun sebagai suatu
kebenaran.
Terdapat 5 (lima) bentuk berpikir kesejarahan
yang dapat mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir kesejarahan yakni:
1.
Chronological Thinking (berpikir kronologis), yaitu membangun tahap awal
dari pengertian atas waktu (masa lalu, sekarang dan masa datang), untuk dapat mengidentifikasi urutan waktu
atas setiap kejadian, mengukur waktu kalender, mengintertretasikan dan
menyusun garis waktu, serta menjelaskan
konsep kesinambungan sejarah dan perubahannya.
2.
Historical Comprehension (pemahaman sejarah), mencakup kemampuan untuk
mendengar dan membaca cerita dan narasi sejarah dengan penuh pengertian, untuk
mengidentifikasi elemen dasar
dari suatu narasi
atau struktur kisah, dan untuk mengembangkan kemampuan menggambarkan masa lalu berdasarkan pengalaman pelaku
sejarah, literatur sejarah, seni, artefak, dan catatan-catatan sejarah dari
masanya.
3.
Historical
Analysis and Interpretation,
mencakup kemampuan untuk membandingkan dan membedakan
pengalaman-pengalaman, kepercayaan,
motivasi, tradisi, harapan-harapan, dan ketakutan-ketakutan dari
masyarakat yang berbeda-beda secara kelompok maupun berdasarkan
latarbelakangnya, pada kurun waktu yang bervariasi.
4.
Historical Research Capabilities, mencakup kemampuan untuk memformulasikan
pertanyaan-pertanyaan sejarah berdasarkan dokumen-dokumen bersejarah,
foto-foto, artefak, kunjungan ke situs bersejarah,
dan dari kesaksian pelaku sejarah.
5.
Historical issues-analysis and Decision Making, mencakup kemampuan mengidentifikasi permasalahan
yang dikonfrontasikan masyarakat terhadap suatu literatur sejarah, komunitas
lokal, negara bagian; untuk menganalisis kepentingan dan motivasi yang
bervariasi dari suatu masyarakat yang terperangkap dalam situasi tersebut;
untuk mengevaluasi alternatif pemecahan masalah guna membangun keputusan dalam
rangka menindaklanjutinya.
Kelima bentuk keterampilan berpikir
kesejarahan tersebut menjadikan pembelajaran sejarah lebih bermakna
daripada sekedar sebuah hafalan rangkaian fakta. Kunci untuk
dapat merealisasikan pembelajaran sejarah seperti dimaksud diatas terletak pada
pendidik selaku “life-curriculum”.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di dalam prinsip-prinsip kegiatan
belajar mengajar, posisi siswa adalah sebagai subjek. Siswa dilibatkan secara
aktif dalam proses pembelajaran dan bukan terpusat pada guru. Namun hal ini
bertolak belakang dengan kegiatan pembelajaran di lapangan. Oleh karena itulah
dalam pembelajaran sejarah menginginkan adanya pengembangan keterampilan
berpikir sejarah juga pemahaman tentang sejarah, maka diperlukan suasana
belajar yang member kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotornya.
Kemampuan berpikir kesejarahan yang
memungkinkan anak atau siswa untuk
membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang; membangun
pertanyaan; mencari dan mengevaluasi bukti-bukti; membandingkan dan
menganalisis kisah-kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari
masa lalu; menginterpretasikan catatan-catatan sejarah; dan mengkonstruksinarsi
sejarah menurut versi masing-masing siswa atau anak.menurut versi mereka
masing-masing.
Dalam kemampuan berpikir sejarah juga
disertai dengan adanya diakronis dan sinkronis, kausalitas, periodisasi,
interpretasi, dan juga kronologi. Untuk belajar berpikir sejarah maka
diperlukan imajinasi terhadap konteks sejarah dalam kaitannya untuk membuat hal
tersebut bisa diterima akal pikirannya. 5 (lima) bentuk berpikir kesejarahan
yang dapat mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir kesejarahan yakni Chronological Thinking (berpikir kronologis),
Historical Comprehension (pemahaman
sejarah), Historical Analysis
and Interpretation, Historical
Research Capabilities, dan Historical
issues-analysis and Decision Making.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin, Fajri. 2014. Cara Berpikir Sejarah. Dalam http://www.slideshare.net/fajriaminudin16/cara-berfikir-sejarah-kelompok-2
Anonym. Periodisasi Dan Kronologi Dalam
Sejarah. Dalam http://resto-history.blogspot.com/2012/02/periodisasi-dan-kronologi-dalam-sejarah_27.html
Anonym. Pendekatan Diakronik Dan Sinkronik,
Serta Konsep Ruang Dan Waktu Dalam Sejarah.
Dalam http://resto-history.blogspot.com/2014/08/pendekatan-diakronik-dan-sinkronik.html
John, Miduik. 2014. Contoh Berpikir Kronologis dan Diakronik dalam Sejarah. Dalam http://jhonmiduk8.blogspot.com/2014/08/berpikir-kronologi-dan-sinkronik-dalam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar