Kamis, 25 Desember 2014

MENGEMBANGKAN CARA BERPIKIR SEJARAH (HISTORICAL THINKING) DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi
Dosen Pengampu Dr. Suranto, M.Pd.




Oleh  :
Hajar Riza Asyiyah   (120210302051)
Kelas B


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Mengembangkan Cara Berpikir Sejarah dalam Pembelajaran Sejarah” dengan tepat waktu. Penulisan makalah ini, kami gunakan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi.
Terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Suranto, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi kepada kami dalam penyelesaian makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga kami selaku penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang nantinya akan kami gunakan sebagai perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca.




Jember, Oktober 2014
Penyusun



DAFTAR ISI





 

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Berpikir sejarah didefinisikan sebagai seperangkat keterampilan berpikir yang menjadikan siswa harus belajar dari sejarah “… that students of history should learn as a resuil of studying history”. Dalam proses pembelajaran terjadi interaksi yang berkesinambungan antara guru dengan siswa, guru atau siswa dengan lingkungan baik di dalam maupun di luar kelas. Proses interaktif yang terjadi menempatkan siswa terlibat aktif megembangkan pengetahuan, potensi, keterampilan dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.
Di dalam prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar, posisi siswa adalah sebagai subjek. Siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran dan bukan terpusat pada guru. Namun hal ini bertolak belakang dengan kegiatan pembelajaran di lapangan yang sebagian besar kegiatan pembelajaran sejarah memposisikan siswa sebagai objek. Mereka menerima setumpukan fakta sejarah dan hasil interpretasi guru terhadap fakta-fakta tersebut yang telah disampaikan oleh pengajar. Siswa tidak diberikan kesempatan untuk membangun dan memberikan interpretasinya terhadap peristiwa masa lampau.
Oleh karena itulah dalam pembelajaran sejarah menginginkan adanya pengembangan keterampilan berpikir sejarah juga pemahaman tentang sejarah, maka diperlukan suasana belajar yang member kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan kognitif, afektif dan psikomotornya.

1.2  Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1.2.1        Bagaimanakah definisi dari cara berpikir sejarah (historical thinking)?
1.2.2        Apa sajakah konsep dasar dari berpikir sejarah (historical thinking)?
1.2.3        Bagaimanakah cara mengembangkan berpikir sejarah (historical thinking)?

1.3  Tujuan

1.3.1        Untuk mengetahui definisi dari cara berpikir sejarah (historical thinking).
1.3.2        Untuk mengetahui konsep dasar dari berpikir sejarah (historical thinking).
1.3.3        Untuk mengetahui cara mengembangkan berpikir sejarah (historical thinking).

1.4  Manfaat

Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi pembaca dalam mengembangkan cara berpikir sejarah (historical thinking) khusunya dalam pembelajaran sejarah.



BAB 2. PEMBAHASAN

2.1  Definisi Berpikir Sejarah (Historical Thinking)

Menurut Bruce A. Van Sledright (2003) dari Cotlege of Education University of Maryland memberikan pengertian historical thinking berdasarkan temuan penelitiannya. Apa yang dilakukan oleh siswa dalam upaya untuk mengembangkan keterampilan berpikir sejarah pada prinsipnya adalah untuk mengajak siswa melibatkan kegiatan mentalnya dalam menganalisis, mengkritisi sebaran fakta, informasi, dan catatan sejarah. Keterampilan ini juga menuntut siswa agar mampu mendengar, membaca narasi sejarah, dan mampu menjelaskan mengapa sesuatu itu dapat terjadi. Oleh karena itulah kebutuhan akan artefak, dokumen, catatan sejarah sangat diperlukan dalam membangun keterampilan berpikir sejarah. Pelajaran sejarah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir selain pemahaman materinya.
Historical Thinking, kemampuan berpikir kesejarahan yang memungkinkan  anak atau siswa untuk membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang; membangun pertanyaan; mencari dan mengevaluasi bukti-bukti; membandingkan dan menganalisis kisah-kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan-catatan sejarah; dan mengkonstruksinarsi sejarah menurut versi masing-masing siswa atau anak.

2.2         Konsep Dasar Berpikir Sejarah (Historical Thinking)

2.2.1        Diakronis dan Sinkronis

Diakronik berasal dari kata diachronich; (dia, terdiri dari dua kata, yaitu dia dalam bahasa latin artinya melalui atau melampaui dan chronicus artinya waktu). Diakronis artinya memanjang dalam waktu tetapi terbatas dalam ruang. Berpikir diakronik adalah berpikir kronologis (urutan) dalam menganalisis sesuatu. Kronologis adalah catatan kejadian-kejadian yang diurutkan sesuai dengan waktu kejadiannya. Kronologi dalam peristiwa sejarah dapat membantu merekonstruksi kembali suatu peristiwa berdasarkan urutan waktu secara tepat, selain itu dapat juga membantu untuk membandingkan kejadian sejarah dalam waktu yang sama di tempat berbeda yang terkait peristiwanya.
Sejarah itu ilmu diakronis, yang mementingkan proses, sejarah akan membicarakan suatu peristiwa tertentu yang terjadi pada suatu tempat tertentu sesuai dengan urutan waktu terjadinya. Dengan pendekatan diakronis, sejarah berupaya menganalisis evolusi atau perubahan sesuatu dari waktu ke waktu, yang memungkinkan seseorang untuk menilai bahwa perubahan itu terjadi sepanjang masa. Sejarawan akan menggunakan pendekatan ini untuk menganalisis dampak perubahan variabel pada sesuatu, sehingga memungkinkan sejarawan untuk mendalilkan mengapa keadaan tertentu lahir dari keadaan sebelumnya atau mengapa keadaan tertentu berkembang atau berkelanjutan. Contoh:
·         Perkembangan Sarekat Islam di Solo, 1911-1920,
·         Terjadinya Perang Diponegaro, 1925-1930,
·         Revolusi Fisik di Indonesia, 1945-1949,
·         Gerakan Zionisme 1897-1948 dan sebagainya.

Sedangkan sinkronis artinya meluas dalam ruang tetapi terbatas dalam waktu. Pendekatan sinkronik biasa digunakan dalam ilmu-ilmu sosial. Sinkronik lebih menekankan pada struktur, artinya meluas dalam ruang. Pendekatan sinkronis menganalisa sesuatu tertentu pada saat tertentu, titik tetap pada waktunya. Ini tidak berusaha untuk membuat kesimpulan tentang perkembangan peristiwa yang berkontribusi pada kondisi saat ini, tetapi hanya menganalisis suatu kondisi seperti itu.
Istilah memanjang dalam waktu itu meliputi juga gejala sejarah yang ada didalam waktu yang panjang itu. Ada juga yang menyebutkan ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang tetapi dalam waktu yang terbatas. Beberapa contoh penulisan sejarah dengan topik-topik dari ilmu sosial yang disusun dengan cara sinkronik lainnya misalnya Tarekat Naqsyabandiyah dan Qodiriyah di pesantren-pesantren Jawa.
Ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial ini saling berhubungan. Kita ingin mencatat bahwa ada persilangan antara sejarah yang diakronik dan ilmu sosial lain yang sinkronik. Artinya ada kalanya sejarah menggunakan ilmu sosial, dan sebaliknya, ilmu sosial menggunakan sejarah ilmu diakronik bercampur dengan sinkronik. Contoh :
·         Peranan militer dalam politik (1945-1999) yang ditulis seorang ahli ilmu politik;
·         Elit Agama dan Politik (1945- 2003) yang ditulis ahli sosiologi.
Cara berpikir sinkronik sangat mempengaruhi kelahiran sejarah baru yang sangat dipengaruhi perkembangan imu-ilmu sosial. Pengaruh itu dapat digolongan ke dalam tiga macam, yaitu konsep, teori, dan permasalahan.
1.      Konsep
Bahasa latin conceptus yang berarti gagasan atau ide. Para sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu-ilmu social. Sebagai contoh sejaawan Anhar Gonggong dalam disertasinya  tentang Kahar Muzakkar menggunakan konsep politik lokal untuk menerangkan konflik antar gologan di Sulawesi Selatan. Konsep ilmu social lain yang digunakannya adalah konsep dari psykologi etnis yang terdapat dalam masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu sirik yang berarti harga diri atau martabat.
2.      Teori
Bahasa Yunani theoria berarti kaidah yang mendasari suatu gejala, yang sudah melalui verifikasi. Sebagai contoh adalah karya sejarawan Ibrahim Alfian, Perang di jalan Allah. Ia menerangkan perang Aceh dengan teori perilaku kolektif dari ilmu social. Dalam teori itu diterangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul, melalui dua syarat, yaitu ketegangan structural dan keyakinan yang tersebar. Dalam kasus perang Aceh yang diteliti Ibrahim Alfian dijelaskan adanya ketegangan antara orang Aceh dengan pemerintah colonial Hindia Belanda (ketegangan structural), dan keyakinan yang tersebar di kalangan masyarakat Aceh bahwa musuh mereka adalah golongan kafir. Pertentangan antara kafir dan muslim itulah yang menghasilkan ideology perang sabil.
3.      Permasalahan
Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu social yang dapat diangkat jadi topic-topik penelitian sejarah. Soal seperti mobilitas social, kriminalitas, migrasi, gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas menengah dan sebagainya.  Sebagai contoh adalah karya sejarawan Sartono Kartodirdjo tentang perkembangan peradaban priyayi yang ditulis berdasarkan permasalahan elite dalam pemerintahan kolonial, kemunculannya, lambang-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.

2.2.2        Kausalitas

Kausalitas sejarah adalah sebab terjadinya peristiwa sejarah. Dalam ilmu-ilmu sosial kedalaman ilmu pengetahuan ditunjukkan sejauh mana ilmuwannya dapat menggali sebab-musabab (sebab-akibat atau kausalitas) fenomena yang ditelitinya. Oleh karena sifatnya nomotetis, maka mereka berusaha mencari sebab-musabab yang umum melalui fenomena-fenomena tertentu, sehingga menjadi hukum kausalitas yang permanen di manapun dan dalam waktu yang lama. Dalam perkembangannya kemudian melahirkan suatu teori, yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena kongkret yang ditemui.
Untuk mempertahankan rerlevansinya, teori-teori dalam ilmu sosial itu diverifikasikan secara terus menerus, sehingga menjadi kuat, yang kemudian disebut sebagai teori agung. Teori-teori ini digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang ada sekarang maupaun untuk memprediksi fenomena yang akan datang.
Sedangkan dalam ilmu sosial hukum sebab-akibat tidak dapat ditegakkan secara penuh, terlebih lagi dalam ilmu sejarah yang ilmuwannya tidak dapat mengamati secara langsung peristiwa yang sudah lampau. Betapapun seringnya sejarawa  mengamati, meneliti, dan merekonstruksi fakta-fakta, kiranya akan sulit untuk dapat merumuskan sebab-sebab umum. Hal ini dikarenakan sejarawan terkendala dengan subjektifnya, harus menurunkan fakta-fakta dari dokumen yang dinilai eviden. Kemudian dengan imajinasinya sejauh mungkin dalam sejarah sejarawan merekonstruksi fakta menjadi sejarah.
Oleh karena subjektifitas yang melekat pada sejarawan, mengakibatkan sebab-sebab itu menjadi beranekarangam dan subjektif pula sifatnya, sehingga sulit untuk mengeneralisasikanya. Dalam mengatasi permasalahan ini sejarawan harus dapat memilih dengan tepat dan mampu memberikan argumentasi yang meyakinkan. Dalam hal ini sejarawan harus memilih sebab mana yang akan dijadikan titik berat dalam penelitiannya. Oleh karena itu hal ini harus sudah ditentukan pada waktu memilih dan menilai fakta sejarah, sehingga dalam eksplanasinya semuanya sudah tersedia. Dengan demikian akan dihasilkan laporan penelitian atau penulisan sejarah yang ilmiah.

2.2.3        Periodisasi

Komplek dan luasnya ruang lingkup peristiwa sejarah, dengan waktu yang panjang, bidang atau aspeknya juga sangat banyak, maka dibuatlah suatu periodisasi (babakan waktu) sejarah. Dari deretan peristiwa masa lampau yang sedemikian banyaknya itu dibagi-bagi dan dikelompokkan sifat ataupun bentuknya, sehingga membentuk satu kesatuan isi, bentuk maupun waktu yang tertentu. Di dalam periodisasi diadakan serialisasi rangkaian babakan menurut urutan zaman atau masa. Dalam setiap periode mengungkapkan ikhtisar sejarah dan di dalamnya harus dapat dikenali jiwa atau semangat setiap zaman, masing-masing pola dan struktur urutan kejadian atau peristiwa-peristiwanya.
Tujuan daripada Periodisasi adalah:
a.       Memudahkan pengertian. Gambaran peristiwa-peristiwa masa lampau yang sedemikian banyaknya itu dikelompok-kelompokkan, disederhanakan dan diikhtisarkan menjadi suatu tatanan (orde), sehingga memudahkan pengertian.
b.      Melakukan penyederhanaan. Gerak pikiran dalam usaha untuk mengerti ialah melakukan penyederhanaan. Begitu banyaknya peristiwa-peristiwa sejarah yang beraneka ragam dan bersimpangsiur itu sukar atau ruwet disusunnya menjadi sederhana, sehingga pikiran mendapatkan ikhtisar yang mudah diartikannya.
c.       Memenuhi persyaratan sistematika ilmu pengetahuan. Peristiwa-peristiwa masa lampau itu setelah dikelompok-kelompokkan kemudian hubungan antara motivasi dan pengaruh-pengaruh peristiwa itu dikaitkan (interelasi) lalu disusun secara sistematis. Sehingga dapat mengadakan tinjauan secara menyeluruh terhadap peristiwa-peristiwa dan saling hubungannya dengan berbagai aspeknya.
d.      Klasifikasi dalam ilmu sejarah. Klasifikasi dalam ilmu alam meletakkan dasar pembagian jenis, golongan, suku, bangsa, dan seterusnya. Klasifikasi dalam ilmu sejarah meletakkan dasar babakan waktu. Masa lalu yang tidak terbatas peristiwa dan waktunya, dipastikan bentuk dan waktunya menjadi bagian-bagian babakan waktu. Periodisasi memberi bentuk dan corak cerita sejarah. Dalam periodisasi itu harus mempunyai kriteria atas dasar motif-motif atau pengaruh-pengaruh tertentu.
Contoh-contoh periodisasi Sejarah Indonesia
·        Tahun 400, zaman prasejarah Indonesia
·        400 – 1500, zaman pengaruh Hindu-Budha dan pertumbuhan Islam
·        1500 – 1670, zaman kerajaan Islam dan mulai masuknya pengaruh Barat serta perluasan pengaruh VOC
·        1670 – 1800, masa penjajahan oleh VOC
·        1800 – 1811, masa pemerintahan Herman W. Daendels
·        1811 – 1816, masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles (Inggris).
·        1816 – 1830, masa pemerintahan Komisaris Jenderal dan perlawanan terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda
·        1830 – 1870, sistem tanam paksa oleh Gubernur Van den Bosch
·        1870 – 1942, sistem ekonomi Liberal Kolonial dan Politik Etis
·        1908, masa Pergerakan Nasional
·        1942 – 1945, masa pendudukan Jepang
·        1945 – 1949, perjuangan mempertahankan Kemerdekaan
·        1949 – 1950, masa pemerintahan RIS
·        1950 – 1959, penerapan sistem Liberal Parlementer
·        1959 – 1966, Masa demokrasi terpimpin
·        1966 – 1998, Masa Orde Baru
·        1998 – kini, Era Refarmasi

2.2.4        Interpretasi

Interpretasi Menurut kamus besar bahasa Indonesia, interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu. Interpretasi dalam ilmu sejarah bisa disamakan dengan penafsiran yaitu suatu metode penelitian sejarah yang berupa penggambaran informasi, baik dari lisan, tulisan, gambar, atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Penggambaran dapat muncul sewaktu penafsir melakukan penelitian terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas, baik secara sadar ataupun tidak.
Tujuan Interpretasi dalam Sejarah Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang, seperti pada propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan membuat kebingungan. Tetapi interpretasi masih bisa di rumuskan dengan benar bila kita dapat mengidentifikasikan suatu masalah yang membingungkan.
Menurut Kuntowijoyo, seorang sejarawan, dalam pekerjaannya harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudahnya. Dalam kasus-kasus yang ada ini, batasan yang dipakai sangat jelas. Pembatasan yang seharusnya dilakukan adalah, membatasi interpretasi yang berkembang khusus pada keadaan yang sebenarnya terjadi. Jadi jika imajinasi yang berkembang menjadi menginterpretasikan keadaan yang bukan sebenarnya terjadi, maka telah terjadi manipulasi peristiwa yang sebenarnya.Kemampuan interpretasi adalah menguraikan fakta-fakta sejarah dan kepentingan topik sejarah, serta menjelaskan masalah kekinian. Tidak ada masa lalu dalam konteks sejarah yang benar-benar aktual terjadi. Yang ada hanyalah interpretasi-interpretasi histories.

2.2.5        Kronologis

Salah satu ciri dalam penulisan sejarah adalah penyusunan secara kronologi, artinya peristiwa-peristiwa masa lampau itu disajikan sesuai dengan urut-urutan waktu kejadiannya. Penyusunan secara kronologis dimaksudkan untuk menghindarkan penempatan cerita secara acak-acakan tanpa sistematika dan alur yang jelas (anakronisma). Penempatan tokoh dan peristiwa yang tidak sesuai dengan urutan waktu kejadiannya akan berdampak sejarah yang ditampilkan tidak sistematis dan terkesan waktu berjalan bolak-balik. Hal ini tentu menyalahi gambaran waktu kejadian sebagai proses yang diibaratkan sebagai garis lurus (linear), yang bergerak dari masa lampau, masa kini, dan menuju masa depan. Contoh-contoh kronologi :
·         17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan RI
·         15 September 1945 Sekutu mendarat di Jakarta
·         10 November 1945 Pertempuran Surabaya
·         4 Januari 1946 Ibu kota RI pindah ke Jogjakarta
·         25 Maret 1947 Persetujuan Linggarjati
·         21 Juli 1947 Agresi militer Belanda I
·         1 Agustus 1947 Seruan gencatan senjata dari PBB
·         17 Januari 1948 Perjanjian Renville
·         27 Desember 1949 Pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda.

2.3   Cara Mengembangkan Berpikir Sejarah (Historical Thinking)

Untuk belajar berpikir sejarah maka diperlukan imajinasi terhadap konteks sejarah dalam kaitannya untuk membuat hal tersebut bisa diterima akal pikirannya. Berpikir kesejarahan adalah kemampuan yang harus dikembangkan agar siswa dapat membedakan waktu lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, melihat  dan mengevaluasi evidensi, membandingkan dan menganalisis antara cerita  sejarah, ilustrasi dan catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan sejarah;  dan membangun suatu cerita sejarah berdasarkan pemahaman yang sesuai dengan tingkat perkembangan berpikirnya.
Sejarah dapat membuka kesempatan bagi siswa untuk melakukan analisis dan mengembangkan analisis terhadap aktivitas manusia dan hubungannya dengan sesama. Agar dapat tercipta atmosfir yang demikian, maka siswa harus dikondisikan untuk aktif bertanya dan belajar (active learning), tidak hanya secara pasif menyerap informasi berupa fakta, nama, dan angka tahun sebagai suatu kebenaran.
Terdapat 5 (lima) bentuk berpikir kesejarahan yang dapat mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir kesejarahan yakni:
1.      Chronological Thinking (berpikir kronologis), yaitu membangun tahap awal dari pengertian atas waktu (masa lalu, sekarang dan masa datang),  untuk dapat mengidentifikasi urutan waktu atas setiap kejadian,  mengukur  waktu kalender, mengintertretasikan dan menyusun garis waktu, serta menjelaskan konsep kesinambungan sejarah dan perubahannya.
2.      Historical Comprehension (pemahaman sejarah), mencakup kemampuan untuk mendengar dan membaca cerita dan narasi sejarah dengan penuh pengertian, untuk mengidentifikasi  elemen  dasar  dari  suatu  narasi  atau struktur kisah, dan untuk mengembangkan kemampuan menggambarkan  masa lalu berdasarkan pengalaman pelaku sejarah, literatur sejarah, seni, artefak, dan catatan-catatan sejarah dari masanya.
3.      Historical  Analysis  and  Interpretation,  mencakup  kemampuan  untuk membandingkan dan membedakan pengalaman-pengalaman, kepercayaan,  motivasi, tradisi, harapan-harapan, dan ketakutan-ketakutan dari masyarakat yang berbeda-beda secara kelompok maupun berdasarkan latarbelakangnya, pada kurun waktu yang bervariasi.
4.      Historical Research Capabilities, mencakup kemampuan untuk memformulasikan pertanyaan-pertanyaan sejarah berdasarkan dokumen-dokumen bersejarah, foto-foto, artefak, kunjungan ke  situs bersejarah, dan dari kesaksian pelaku sejarah.
5.      Historical issues-analysis and Decision Making, mencakup kemampuan mengidentifikasi permasalahan yang dikonfrontasikan masyarakat terhadap suatu literatur sejarah, komunitas lokal, negara bagian; untuk menganalisis kepentingan dan motivasi yang bervariasi dari suatu masyarakat yang terperangkap dalam situasi tersebut; untuk mengevaluasi alternatif pemecahan masalah guna membangun keputusan dalam rangka menindaklanjutinya.
Kelima bentuk keterampilan berpikir kesejarahan tersebut menjadikan pembelajaran sejarah lebih bermakna daripada  sekedar  sebuah hafalan rangkaian fakta. Kunci untuk dapat merealisasikan pembelajaran sejarah seperti dimaksud diatas terletak pada pendidik selaku “life-curriculum”.



BAB 3. PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Di dalam prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar, posisi siswa adalah sebagai subjek. Siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran dan bukan terpusat pada guru. Namun hal ini bertolak belakang dengan kegiatan pembelajaran di lapangan. Oleh karena itulah dalam pembelajaran sejarah menginginkan adanya pengembangan keterampilan berpikir sejarah juga pemahaman tentang sejarah, maka diperlukan suasana belajar yang member kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan kognitif, afektif dan psikomotornya.
Kemampuan berpikir kesejarahan yang memungkinkan  anak atau siswa untuk membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang; membangun pertanyaan; mencari dan mengevaluasi bukti-bukti; membandingkan dan menganalisis kisah-kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan-catatan sejarah; dan mengkonstruksinarsi sejarah menurut versi masing-masing siswa atau anak.menurut versi mereka masing-masing.
Dalam kemampuan berpikir sejarah juga disertai dengan adanya diakronis dan sinkronis, kausalitas, periodisasi, interpretasi, dan juga kronologi. Untuk belajar berpikir sejarah maka diperlukan imajinasi terhadap konteks sejarah dalam kaitannya untuk membuat hal tersebut bisa diterima akal pikirannya. 5 (lima) bentuk berpikir kesejarahan yang dapat mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir kesejarahan yakni Chronological Thinking (berpikir kronologis), Historical Comprehension (pemahaman sejarah), Historical  Analysis  and  Interpretation, Historical Research Capabilities, dan Historical issues-analysis and Decision Making.




DAFTAR PUSTAKA


Aminudin, Fajri. 2014. Cara Berpikir Sejarah. Dalam http://www.slideshare.net/fajriaminudin16/cara-berfikir-sejarah-kelompok-2
John, Miduik. 2014. Contoh Berpikir Kronologis dan Diakronik dalam Sejarah. Dalam http://jhonmiduk8.blogspot.com/2014/08/berpikir-kronologi-dan-sinkronik-dalam.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.